Pada kehidupan modern, konflik antara peran pekerjaan dan keluarga merupakan suatu hal yang sulit dihindari, terutama bagi mereka yang sudah berkeluarga dan bekerja di luar rumah. Beban kerja peran publik yang semakin kompleks serta tuntutan tugas dan tanggung jawab peran domestik yang kian berat, menyebabkan konflik peran karena individual sulit untuk mengupayakan penyeimbangan perannya.
“Hampir semua studi konflik peran yang dilakukan bersifat dikotomi karena mengkaji konflik yang bersumber hanya dari dua domain kehidupan, yaitu konflik pekerjaan dan keluarga. Penelitian ini mengintegrasikan dimensi kemasyarakatan dalam konflik peran,” papar I Gusti Ayu Manuati Dewi pada ujian terbuka doktor Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Kamis (12/12) di Auditorium BRI Lt. 3 FEB UGM. Pada ujian itu Manuati mempertahankan disertasinya yang berjudul Anteseden dan Konsekuensi Konflik Pekerjaan-Keluarga-Budaya.
Manuati menambahkan penelitian yang dilakukan ini dilakukan di Kota Denpasar, Propinsi Bali dengan sampel pasangan bekerja di sektor formal baik publik maupun swasta. Ukuran sampel ditentukan secara kuota yakni 200 pasangan (400 orang). Tujuan studi ini adalah menguji pengaruh karakteristik peran pekerjaan, keluarga, budaya, dan karakteristik disposisional pada Konflik Pekerjaan-Keluarga-Budaya (KPKB) serta pengaruh KPKB pada kesejahteraan individual.
“Temuan studi mendukung beberapa hipotesis yang diajukan dan variabel-variabel domain pekerjaan, keluarga, dan budaya muncul sebagai predictor penting dalam menentukan variasi KPKB,” kata dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana, Bali itu.
Ia menjelaskan di antara ketiga ukuran kesejahteraan, hanya kepuasan kerja yang muncul sebagai konsekuensi KPKB. Hal ini ditengarai karena kepuasan kerja adalah sikap karyawan yang paling vokal sifatnya dan merupakan aspek peran pekerjaan yang paling banyak dikorbankan akibat konflik peran. Sementara itu hasil analisis regresi pemoderasian menunjukkan bahwa strategi tidak muncul sebagai variabel penyangga hubungan KPKB dan kesejahteraan.
“Ini artinya interaksi antara KPKB dan strategi tidak berpengaruh signifikan pada kesejahteraan,” katanya.
Dari hasil penelitiannya itu Manuati mengemukakan beberapa saran. Pengembangan program work/family/culture program and policies untuk membantu karyawan mengatasi konflik peran, menjadi suatu keharusan. Selain itu, pembentukan kelompok pendukung father husband support group dan mother/wife support group yang merupakan kebijakan ramah karyawan sebagai perwujudan spouse support group layak untuk dipertimbangkan. (Humas UGM/Satria)