Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah. Skor IPK pada tahun 2013 masih merujuk pada angka 3,2. Skor yang sama dengan perolehan pada tahun 2012. Kendati begitu, peringkat Indonesia naik dari posisi 118 pada tahun 2012 menjadi 114 pada tahun 2013.
Kondisi hampir serupa juga terjadi pada sebagian besar negara anggota ASEAN. Hal ini terlihat dari hasil survei Lembaga Tranparency Internasional yang mencatat hanya Singapura dan Brunei Darusalam yang memiliki IPK tinggi yakni 8,6 dan 6,0. Sementara itu, negara lainnya memiliki skor IPK di bawah 5,0; sebut saja Kamboja ( 2,0), Myanmar (2,1), Laos (2,6), Timor Leste (3,0), Vietnam (3,1), Filipina, (3,5), dan Thailand (3,6).
“Ada gap yang sangat besar diantara negara-negara anggota ASEAN dalam perolehan kualitas penanganan korupsi di negaranya. Ini juga menunjukkan kinerja pemeberantasan korupsi di masing-masing negara yang belum maksimal,” kata Muhammad Nuh, staf pengajar Universitas Brawijaya, Kamis (12/11) di Gedung Masri Singarimbun Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Dalam seminar Anti Korupsi dan tantangan Governance di Asia Tenggara, Nuh menyampaikan bahwa pengalaman Singapura dalam memberantas korupsi dilakukan dengan sungguh-sungguh dan memiliki lembaga anti korupsi yang independen. Bahkan langkah tersebut didukung komitmen politik dari pimmpinan negara sehingga secara konsisten menempatkan Singapura menempati rangking IPK di level atas.
“Berbeda dengan Indonesia, walapun sudah punya KPK yang relatif independen tetapi kekuatan KPK dalam memberantas korupsi masih harus menghadapi tembok besar kekuatan politik yang membentengi tiap kasus korupsi yang terjadi, salah satunya seperti pada kasus Bank Century,” terangnya.
Nuh mengatakan negara-negara dengan IPK tinggi memiliki kecenderungan indeks pembangunan manusianya rendah. Data UNDP 2013 menunjukkan bahwa indeks pembangunan manusia sebagian besar negara anggota ASEAN sangat rendah, termasuk Indonesia yang berada di rangking 121. Jauh tertinggal dari Singapura (18) , Brunei (30) Malaysia (64), Thailand (103), dan Thailand (103). Namun di kawasan ASEAN, posisi Indonesia jauh lebih baik dari Vietnam (127), Timor Leste (134), Kamboja (138), Laos (138), Myanmar (149).
“Angkat tersebut menjadi cerminan betapa program pembangunan manusia di sebagian besar negara ASEAN belum berjalan maksimal. Praktik korupsi memberikan dampak luar biasa yang menghambat pembangunan manusia,” tuturnya.
Lebih lanjut dipaparkan Nuh terdapat hubungan timbal balik antara korupsi dengan tata kelola pemerintahan. Negara dengan tata kelola baik memiliki kecenderungan kecil untuk timbul tindak korupsi kecil. Namun sebaliknya, negara dengan tingkat korupsi tinggi memeiliki kondisi tata kelola yang buruk.
“Hal itu bisa dilihat pada kasus di negara anggota ASEAN dimana Singapura sebagai negara yang bisa menjaga stabilitas negara dalam menjalankan tata pemerintahan yang baik sehingga kejadian korupsi relatif kecil. Sebaliknya Myanmar yang tingkat korupsinya tinggi, indeks governance pun rendah,” urainya.
Menurutnya upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik harus segera dilakukan, disamping pencegahan dan pemberantasan korupsi. Langkah tersebut harus diambil agar tidak terjadi stagnansi dalam proses pembangunan suatu negara. (Humas UGM/Ika)