YOGYAKARTA – Transformasi keagamaan komunitas Muhammadiyah dalam merespon perkembangan pariwisata Borobudur berjalan cukup dinamis. Pada awal tahun 1980 hingga tahun 2000, warga Muhammadiyah di sekitar kawasan Borobudur bersikap reaktif dan beroposisi terhadap keberadaan pariwisata Borobudur dengan pola keberagamaan yang eksklusif dan puritan. Pada perkembangan selanjutnya seiring meningkatnya tingkat pendidikan, mereka kemudian bersikap responsif partisipatif dengan pola keberagaman yang inklusif kontekstual. Hal itu dikemukan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Radjasa Mu’tasim, dalam ujian terbuka promosi doktor di program S3 Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Selasa (17/12).
Di hadapan tim penguji, promovenduz yang menyampaikan hasil penelitian disertasi yang berjudul Transformasi Keagamaan Komunitas Muslim Kasus Muhammadiyah dalam Meresepon Perubahan Sosial Ekonomi di Kawasan Pariwisata Borobudur, menegaskan peningkatan pendidikan keagamaan dan perluasan profesi masyarakat, serta kondisi pergeseran arena pariwisata menjadi semakin terbuka. Hal itu telah melahirkan perubahan sikap pada komunitas Muhammadiyah atas keberadaan pariwisata Borobudur yang makin responsif-partisipatif.
Beberapa asalan yang dikemukan Mu’tasim, transformasi keagamaan yang terjadi pada warga Muhammadiyah didorong oleh perubahan struktur lingkungan tetapi juga oleh perubahan latar pendidikan para tokoh masyarakatnya. Nampak jelas ketika tokoh masyarakat berlatar belakang pesantren dan bergelar Kyai, pemahaman agamanya bersifat akomodatif. Sementara itu, ketika pemimpinnya berasal dari pendidikan formal dan profesi birokrat, pemahaman agamanya menjadi formalistik. “Lalu dengan para pemimpin yang sebagian besar guru dan pegusaha, menjadikan pemahaman agamanya lebih terbuka dan terjadi proses akomodasi dan partisipasi terhadap pariwisata,” ujarnya.
Promovenduz mengatakan pola transformasi keagamaan yang terjadi pada era pariwisata saat ini merupakan arus balik dari era pertanian yang bersifat akomodatif sekaligus sebagai reaksi atas keberagamaan yang terlalu legalistik. Perubahan itu bukan hanya dipengaruhi, melainkan juga mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi mereka. Saat pariwisata masih tertutup bagi warga sekitar dan para aktor didominasi tokoh keagamaan individual yang berbasis pendidikan formal Madrasah dan berprofesi sebagai birokrat, maka pilihan keberagamaan cenderung eksklusif dan puritan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)