Teknik investigatif psikologis (teknik wawancara kognitif dan teknik wawancara terstruktur) sangat penting dalam membantu proses penggalian (investigasi dan wawancara) pada anak yang berhadapan dengan hukum terutama kasus pencurian karena mampu menggali ingatan anak dengan akurat. Untuk itu pelatihan tentang teknik investigatif psikologis perlu diberikan bagi pelaku hukum karena mampu menghasilkan ingatan yang akurat.
“Bagi pelaku hukum dalam kurun waktu enam minggu masih dapat dilakukan proses investigasi kasus pencurian dengan menggunakan teknik investigasi psikologis yaitu teknik wawancara kognitif bagi anak usia 10-12 tahun, dan wawancara terstruktur bagi usia 13-15 tahun,”papar Suryani, M.Si pada ujian terbuka program doktor Fakultas Psikologi UGM, Senin (23/12) di Auditorium Fakultas Psikologi UGM.
Pada kesempatan itu Suryani mempertahankan disertasinya yang berjudul Akurasi Ingatan Saksi Mata Ditinjau dari Usia, Interval Retensi, dan Teknik Wawancara. Penelitian ini menguji bagaimana ingatan saksi mata yang akurat dilihat dari usia, interval, dan teknik wawancara. Usia yang terlibat dalam penelitian ini adalah usia 10 sampai 12 tahun dan usia remaja awal 13 sampai 15 tahun. Sementara itu, interval retensi meliputi interval satu minggu, tiga minggu, dan enam minggu. Teknik wawancara terdiri dari teknik wawancara kognitif dan wawancara terstruktur.
Suryani menuturkan problematika penelitian yang dilakukan tersebut berangkat dari keterangan saksi anak usia di bawah 15 tahun yang dapat menunjukkan dan memengaruhi keyakinan hakim dalam memutuskan perkara sebagaimana tertuang dalam kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 161 ayat (2) dan penjelasan pasal 171. Bukti dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak usia 15 tahun cukup banyak terlibat dan dilibatkan oleh teman sebaya atau orang dewasa untuk memberikan kesaksian atau keterangan sebagai saksi mata.
“Belum lagi saat investigasi kasus dilakukan dengan masa penundaan dan teknik investigasi yang tidak sesuai kondisi dan situasi anak. Ini jadi fenomena tersendiri di tengah maraknya kasus yang menghadirkan anak sebagai saksi mata,” papar ketua program studi Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Ia mengatakan keberhasilan dalam proses peradilan pidana tergantung pada hasil investigasi terhadap saksi. Sebabnya, baik polisi, jaksa, dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara sehingga keterangan saksi atas kejadian penting untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Hasil penelitian yang dilakukan Suryani menunjukkan bahwa ingatan saksi mata yang akurat ditentukan oleh usia. Hal itu ditunjukkan dengan hasil akurasi ingatan saksi mata anak usia 10 sampai 12 tahun sebesar 72%, sedangkan usia 13 sampai 15 tahun sebesar 82%. Hanya saja, akurasi ingatan anak usia 13 sampai 15 tahun jauh lebih akurat dibandingkan usia 10 sampai 12 tahun. Anak usia 10 sampai 12 tahun dan 13 sampai 15 tahun memiliki akurasi ingatan yang baik pada interval retensi enam minggu.
Sementara itu, teknik wawancara kognitif dan wawancara terstruktur sebagai teknik investigatif psikologis menghasilkan akurasi ingatan yang akurat, baik bagi anak yang lebih muda (10 sampai 12 tahun) maupun yang lebih tua (13 sampai 15 tahun). Namun, teknik wawancara kognitif akan lebih tepat bagi anak usia 10 sampai 12 tahun, sedangkan teknik wawancara terstruktur lebih tepat untuk usia 13 sampai 15 tahun. (Humas UGM/Satria)