Kericuhan di lembaga pemasyarakatan (lapas) dalam beberapa waktu terakhir semakin sering terjadi. Salah satunya dikarenakan adanya kelebihan kapasitas narapidana akibat pertumbuhan penghuni lapas yang tidak sebanding dengan sarana hunian lapas.
Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum. mengatakan fenomena kelebihan kapasitas dari sisi penegakan hukum terjadi karena persepsi penegak hukum yang memandang sanksi pidana perampasan kemerdekaan lebih efektif dibandingkan sanksi tindakan atau jenis pidana lain yang bukan perampasan. Misalnya, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial seperti yang telah diatur dalam pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
“Namun kenyataannya hakim lebih banyak menjatuhkan pidana kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dibanding mengirimkan tersangka untuk menjalani rehabilitasi medis dan sosial,” jelasnya saat menyampaikan pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, Selasa (24/12) di Balai Senat UGM.
Menurutnya, persepsi aparat penegak hukum tersebut menyangkut budaya hukum para penegak hukumnya. Para penegak hukum lebih bersikap untuk memidana daripada memeperbaiki atau memulihkan tersangka atau terdakwa.
“Pandangan seperti itu menjadi penyumbang terbesar yang menyebabkan lapas kelebihan kapasitas. Setiap perbuatan pidana yang mencocoki rumusan delik, tanpa mempertimbangkan tujuan dan manfaat pemidanaan, terdakwa dihukum perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara,” urai pria kelahiran Yogyakarta, 3 Juni 1960 ini.
Untuk mengurangi kelebihan kapasitas di lapas, dituturkan Marcus dapat ditempuh melalui kebijakan intrenal dan kebijakan eksternal. Kebijakan intrenal dilaksanakan dengan melakukan penyederhanaan tata cara pemberi hak-hak napi seperti penyederhanaan persyaratan pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas selain menambah hunian lapas baru. Sementara kebijakan eksternal dilakukan dengan restrukturisasi peradilan pidana nasional dengan pembaharuan hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. Pembaharuan dilakukan untuk menggantikan KUHP dan KUHAP yang sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan saat ini.
Dalam pidato berjudul “Restrukturisasi Peradilan Pidana Sebagai Upaya Mencegah Kelebihan Kapasitas Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan” Marcus menyebutkan restrukturisasi peradilan pidana untuk mengurangi jumlah napi bisa dilakukan dengan optimalisasi jenis pidana yang bukan merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan yaitu pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial seperti yang telah diatur dalam RKUHP. Sedangkan RKUHP sebagai bidang hukum yang akan melaksanakan hukum pidana materiil harus memberi peluang kepada aparat penegak hukum melalui penyelesaian di luar undang-undnag berdasarka program mediasi penal.
“Keseluruhan upaya tersebut belum akan membawa hasil maksimal jika tidak didukung paradigma aparat penegak hukum dalam berhukum. Penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak boleh berpikir parsial tetapi harus berpikir dalam satu kesatuan sistem peradilan pidana. Disamping itu aparat penegak hukum dituntut untuk memiliki kesediaan menahan diri untuk tidak menjatuhkan pidana penjara jangka pendek, bersedia mengubah sikap memidana kepda tersangka atau terdakwa menjadi sikap memulihkan agar kembali berperilaku wajar,” paparnya. (Humas UGM/Ika)