Siapa tak kenal dengan Dealova, Me vs High Heels, Nggak Usah Jaim Deh, dan Fairish? Bagi penggemar chicklit dan teenlit, terutama kalangan remaja, pasti tidak asing lagi dengan sederet fiksi populer tersebut. Novel jenis chicklit dan teenlit memang sempat mengalami booming sekitar tahun 2000-2005.
Namun, masih ada anggapan bahwa novel chickilt dan teenlit sebagai sastra murahan yang memprovokasi dari sistem norma masyarakat tentang remaja ideal. Redyanto Noor, dosen Fakultas sastra Universitas Diponegoro mengatakan novel chicklit dan teenlit sangat digemari oleh sebagian besar remaja. Namun kondisi berbeda ditunjukkan kalangan orang tua dan guru yang bersifat apriori terhadap novel tersebut. Novel untuk remaja ini dianggap sebagai sastra murahan yang memprovokasi remaja menjadi bandel sehingga berlaku menyimpang dari sistem norma masyarakat tentang remaja ideal.
“Tidak sedikit orang tua dan guru yang masih melihat novel jenis ini hanya sekedar sarana gaul dan iseng saja. Padahal sebenarnya lebih dari itu, keduanya menjadi sarana pengembaraan spiritual remaja dalam menemukan jati diri menuju kedewasaan,” katanya saat melaksanakan ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya, Selasa (7/1).
Hasil penelitian Redyanto pada 300 remaja siswa SMP dan SMA di Pulau Jawa dan 134 judul novel dalam empat novel chicklit dan teenlit asli Indonesia yaitu Dealova, Me vs High Heels, Nggak Usah Jaim Deh, dan Fairish yang terbit selama tahun 2000-2005 diketahui bahwa kedua jenis novel tersebut bisa membangkitkan kesadaran membangun mental dan kepribadian remaja saat ruang gerak dan komunikasi dengan guru dan orang tua semakin sempit. Dalam situasi seperti ini novel chicklit dan teenlit menyediakan kebebasan berekspresi dan bergaya dalam ruang cerita bagi remaja yang lebih besar dibandingkan di sekolah. Selain itu, novel jenis ini juga berfungsi sebagai sarana identifikasi diri, aktualisasi diri, dan hubungan sosial
“Dengan ikut larut dalam kegemaran siswa membaca novel chicklit dan teenlit, para guru dan orang tua dapat melihat refleksi diri serta impian siswa atau anak mereka tentang kejujuran dan kesederhanaan,” jelasnya.
Lebih lanjut disampaikan Redyanto, empat novel yang diteliti menunjukkan gejala kemiripan satu sama lain yang merepresentasikan orientasi gaya hidup perempuan remaja yang cenderung maskulin, keras kepala, berani, mandiri, percaya diri, dan gaul. Konsep remaja perempuan ideal tidak merujuk pada kriteria feminitas sesuai ukuran kelaziman di masyarakat. Terdapat perubahan konsep modernitas perempuan ideal dari sudut pandang remaja. Hal tersebut tidak ditemukan dalam novel remaja di era 1970-an, 1980-an, dan 1990-an yang menampilkan tokoh perempuan dicitrakan feminim.
“Tokoh yang ditampilkan merupakan sosok perempuan remaja yang hidup di era globalisasi dan teknologi informasi yang kapitalistik, tetapi tidak terperangkap dalam ideologi hedonisme dan konsumerisme yang identik dengan shopping dan fashionable,” paparnya.
Redyanto menambahkan bahwa gagasan dan nilai-nilai yang diusung pengarang dalam novel merupakan bentuk peringatan terhadap ketidakberesan dalam kehidupan remaja. Peringatan tersebut terbaca jelas dari kestuan bingkai yang memperlihatkan gerak perlawanan budaya.
“Sesungguhnya dalam novel chicklit dan teenlit memperlihatkan adanya gerakan perlawanan budaya, terdapat sebuah peringatan. Ada sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan dunia remaja, mungkin sistem norma masyarakat, norma pendidikan di sekolah, pola interaksi keluarga dan yang lainnya,” tuturnya. (Humas UGM/Ika)