Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel terkait dengan dasar ideologi Partai Ba’ath yang menjunjung persatuan, kebebasan, dan sosialisme. Hal ini kemudian diimplementasikan dalam kebijakan luar negerinya yang antiimperialisme dan anti-Israel. Dalam strateginya Suriah dapat mengendalikan dan membangun gerakan Palestina di Suriah agar tidak menjadi sasaran militer Israel. Aliansinya dengan negara-negara Arab seperti Mesir, Jordan, dan Arabia diwujudkan dengan melakukan penyerangan militer ke Israel pada tahun 1948, 1967, dan 1973.
“Tapi ketika Mesir menjalin perjanjian damai dengan Mesir, Suriah menggandeng Iran. Ini strategi Suriah mempertahankan Lebanon dari serangan Israel tahun 1982, 1993, dan 1996,” papar Windratmo Suwarno pada ujian terbuka Program Doktor Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana UGM, Selasa (7/1).
Windratmo pada disertasinya yang berjudul Strategi Suriah Menghadapi Konflik Dengan Israel menilai, Suriah menerapkan strategi perang proxy dengan memperkuat kelompok perlawanan di Lebanon dengan bantuan Iran. Oleh karena itu, dalam geopolitiknya, Lebanon merupakan salah satu wilayah yang tepat bagi Suriah untuk menghadapi serangan Israel.
“Selain itu, kebijakan Pan-Arabisme dan komitmen Suriah membela rakyat Palestina menjadi dasar bagi geopolitik Suriah untuk mempertahankan Lebanon dari serangan dan pengaruh Israel,” tutur staf di Kementerian Luar Negeri itu.
Sementara itu strategi perlawanan Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel membawa dampak atas terjadinya pergolakan di Suriah. Pergolakan yang terjadi di Suriah tidak murni untuk menjadikan Suriah menjadi negara yang demokratis. Pergolakan yang terjadi awalnya merupakan respon atas kejadian yang terjadi di Mesir, Tunisia, Yaman, dan Libya. Kelompok ini kemudian ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang menginginkan kejatuhan rezim Bashar al-Assad.
Ia menilai dampak yang terjadi di Suriah akibat dari strategi dalam menghadapi Israel tidak dapat melemahkan Suriah atau menggantikan rezim Bashar al-Assad. Sekutu Suriah menyadari bahwa pergantian rezim di Suriah adalah untuk menghilangkan dukungan Suriah kepada Hizbullah dan Hamas serta kelompok garis keras Palestina lainnya.
“Pergolakan itu bisa menghancurkan hubungan diplomatik antara Turki dan Suriah. Selain itu pergantian rezim akan memperlemah tuntutan Suriah untuk pengembalian Dataran Tinggi Golan yang cukup strategis,” papar pria kelahiran Jakarta, 20 September 1970 itu.
Di akhir paparan, Windratmo menegaskan bahwa melalui pergantian rezim pengaruh Iran di Lebanon akan dapat dihancurkan. Hal ini mengakibatkan kekuatan militer Hizbullah dapat dilemahkan sehingga ancaman terhadap Israel akan semakin berkurang, dan bahkan dapat dihilangkan. Kekuatan nuklir Iran dapat menjadi ancaman serius terhadap Israel bila jatuh ke tangan Suriah dan Hizbullah. Terjadinya pergolakan di Suriah sarat dengan kepentingan Isarel yang paling besar bukan kepentingan keamanan AS. (Humas UGM/Satria)