Perkembangan bentuk penyanjian kesenian jathilan di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam era industri pariwisata, banyak dipengaruhi oleh perkembangan sosial masyarakat di sekitar wilayah kesenian tersebut berada. Secara internal, sumber daya manusia sebagai potensi utama memberikan kontribusi terhadap perkembangan kesenian jathilan. Hal ini didukung dengan tingkat pendidikan masyarakat serta kemampuan komunikasi dengan pihak luar sehingga memungkinkan terjadi interaksi kultural.
Menurut Drs. Kuswarsantyo, M.Hum, dosen Jurusan Pendidikan Seni Tari, Fakultas Bahasa dan Seni UNY, secara internal pengaruh terhadap perkembangan kesenian jathilan disebabkan adanya pendatang yang membaur dalam komunitas masyarakat dimana kesenian jathilan itu berada. Kondisi ini akan memunculkan proses interaksi antara warga asli (setempat) dengan warga baru (pendatang) dalam melakukan aktivitas, khususnya dalam berkesenian.
“Dari komunikasi inilah perkembangan wawasan dan inspirasi untuk membuat kreasi dalam bidang seni muncul,” ujar Kuswarsantyo di Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (6/1) saat menjalani ujian terbuka untuk memperoleh Derajat Doktor Program studi Pengkajian seni Pertunjukkan dan seni Rupa.
Dalam disertasi Perkembangan Kesenian Jathilan Di Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Era Industri Pariwisata (1986-2013), Kuswarsantyo mengungkapkan beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan kesenian jathilan di DIY dalam era industri pariwisata. Adapun faktor-faktor itu adalah karena adanya interaksi sosial budaya, adanya kontak dengan kebudayaan lain, tingkat heterogenitas dan pendidikan masyarakat, sarana transportasi yang mendukung, dan arus teknologi informasi. Faktor-faktor tersebut secara kongkret memberikan kontribusi terhadap perkembangan kesenian jathilan di wilayah DIY.
Kata Kuwarsantyo, permasalahan pun muncul dengan adanya pengaruh tersebut. Permasalahan tersebut yaitu munculnya problematika estetik yang terjadi terkait upaya memaksakan kehendak demi untuk menuruti kebutuhan pasar yang sesungguhnya tidak sesuai dengan esensi kesenian jathilan. Penyimpangan adegan trance, misalnya, menjadi adegan ‘mabuk’ yang menimbulkan konsekuensi serta masalah sosial baru terhadap image kesenian jathilan.
Sementara itu, problem nonestetik lain yang muncul akibat makin banyaknya tawaran pementasan adalah terjadinya saling jegal (berebut) untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dapat menjadi pertanda buruk karena kesenian rakyat yang pada awalnya diciptakan untuk guyub rukun. Namun dengan kondisi di era industri pariwisata saat ini sering terjadi perebutan kesempatan pentas dengan menghalalkan segala cara. “Inilah fenomena kesenian jathilan yang terjadi dalam era industri pariwisata di tengah kehidupan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian pun menegaskan industri pariwisata hadir memberikan pengaruh positif karena memacu perkembangan kuantitas dan kualitas bentuk dan gaya penyajian jathilan”, papar pria kelahiran Yogyakarta, 4 September 1965.
Di akhir disertasi Kuswarsantyo berpendapa, terdapat cara untuk mengatasi pengaruh negatif yang menimbulkan kompetisi tidak sehat. Adapaun solusi tersebut yakni grup satu dengan grup lain berlomba menurunkan harga demi mendapat kesempatan pentas perlu diadakan festival. Dengan even festival ini diharapkan memberikan kesempatan kepada grup-grup terutama yang jarang tampil untuk unjuk kebolehan dalam ajang resmi. (Humas UGM/ Agung)