Pers pemerintah di era demokratisasi (2006-2010) belum sepenuhnya dapat mempresentasikan komunikasi pembangunan yang mengaktualisasikan pelibatan publik. Tidak sedikit pers pemerintah yang belum menunjukkan keberpihakan kepada publik. Hal tersebut juga terlihat dalam Tabloid Komunika (TK) yang merupakan media komunikasi eksternal di Kementrian Komunikasi dan Informatika.
Hal tersebut disampaikan Nursodik Gunarjo saat melaksanakan ujian terbuka Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Senin (13/1) di Sekolah Pscasarjana UGM. Ia mempertahankan disertasi berjudul Pers Pemerintah di Era Demokratisasi: Studi Kasus Aktualisasi Pelibatan Publik dalam Komunikasi Pembangunan melalui Tabloid Komunika Kementrian Komunikasi dan Infromatika RI.
Hasil penelitian terhadap TK yang terbit pada tahun 2006-2010 diketahui upaya untuk mengaktualisasikan pelibatan publik dalam komunikasi pembangunan melalui TK belum menunjukkan hasil optimal. Pasalnya dalam pengelolaan masih dipengaruhi sistem birokrasi sentralistik yang cukup kuat dan masih eksis di Kementrian Komunikasi dan Informatika.
“Dominasi pimpinan birokrasi menyebabkan TK terlalu dimanfaatkan sebagai media kehumasan pemerintah pragamtis yang secara sempit cenderung dipakai sebagai alat pencitraan lembaga pemerintah,” jelasnya. Fungsi ganda sebagai media humas pemerintah sekaligus wahana demokratisasi menyebabkan aktualisasi pelibatan publik dalam komunikasi pembangunan melalui TK tidak berlangsung konsiten. Inkonsistensi terjadi karena adanya tarik-menarik kepentingan antarkelompok pengelola yang pro-perubahan dan anti-perubahan.
”Para wartawan TK sebagai kelompok pro-perubahan berusaha menerapkan elemen-elemen demokratisasi pers yang mendukung aktualisasi pelibatan publik. Mereka berupaya memberi kesempatan dan keleluasaan publik untuk berekspresi di TK. Namun, para pimpinan TK yang anti-perubahan berusaha mempertahankan kemapanan status quo dan menolak penetapan demokratisasi pers dengan berbagai cara,” papar staf Kementrian Komunikasi dan Informatika RI ini.
Nursodik mengatakan adanya pembatasan dalam penentuan target liputan menjadi salah satu faktor yang menjadikan kebebasan wartawan untuk berpihak kepada publik rendah. Ditambah lagi dengan sensor dalam pemuatan hasil liputan dan sanksi bagi wartawan.
Meskipun keterbukaan ruang publik menunjukkan peningkatan, akan tetapi TK belum mampu menyediakan ruang yang memadahi bagi masyarakat untuk beropini. Rubrik opini yang disediakan belum sebanding dengan antusiasme masyarakat yang mengirimkan opini.
“Kebanyakan yang dimuat berupa opini positif, sementara naskah opini yang secara substantif memuat statement yang mendiskreditkan atau menjelek-jelekkan pemerintah banyak yang tidak dimuat. Dengan demikian ruang publik di TK bukanlah ruang publik publisitas sejati karena warga tidak bisa menyampaikan pendapat secara bebas,” urainya.
Hasil lain menunjukkan bahwa dalam penentuan isi TK belum optimal karena sidang redaksi masih didominasi pemimpin redaksi. Selain itu belum ada jaminan kebebasan publik untuk menyampaikan pendapat secara bebas dan terbuka, meskipun keempatan ekspresi publik semakin besar.
“Banyak kutipan pendapat masyarakat yang dimuat dibanding kutipan pejabat. Namun pendapat yang dibuat kebanyakan bernada netral. Hal itu menunjukkan bahwa upaya aktualisasi pelibatan publik tidak diikuti dengan pemuatan ekspresi publik secara terbuka karena masih adanya hegemoni kuat dari pimpinan TK dan pejabat Kemenkominfo dalam penetapan isi,” terangnya. (Humas UGM/Ika)