YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada menyediakan fasilitas asrama untuk tempat tinggal sekaligus wahana interaksi lintas kultural. Fasilitas hunian yang diberi nama UGM Residence ini disediakan khusus untuk mahasiswa baru. Dengan tinggal di asrama, para mahasiswa ditempa agar mampu menjalankan peran dari status baru yang disandang, yakni sebagai agent of change. “Pendidikan di level SMA dan universitas beda jauh. Dari yang dulunya siswa, menjadi mahasiswa. Tuntutannya berbeda, dari cara belajar, cara beradaptasi, kita ingin memfasilitasi proses itu,” kata General Manager UGM Residence, Boyke R. Purnomo, S.E., M.M, Jumat (17/1).
Satu tahun dianggap cukup untuk para mahasiswa baru tinggal di asrama sebelum nantinya dilepas indekos dan berbaur dengan masyarakat. Selama di asrama, proses perubahan dari predikat siswa menjadi mahasiswa diharapkan tidak mengalami hambatan. “Tidak semua mahasiswa dengan statusnya itu bisa melaluinya dengan baik, terutama untuk mereka dari kalangan dengan latar belakang kurang mendukung, seperti dari sisi keluarga maupun asal daerah,” tambahnya.
Dengan alasan itulah, penghuni UGM Residence lebih diprioritaskan bagi mahasiswa baru. Semua mahasiswa baru diberi kesempatan untuk mendaftar tinggal di asrama. Namun, karena keterbatasan fasilitas, pengelola melakukan seleksi bagi calon penghuni asrama. “Kita memberikan kesempatan seluas-luasnya pada semua mahasiswa baru untuk tinggal. Prinsipnya, siapa yang datang dulu, kita layani,” ujarnya.
Di samping itu, pengelola asrama juga menerapkan syarat lain. Selain menyandang status mahasiswa baru, syarat lainya ialah berasal dari luar DIY dan sanggup menaati tata tertib yang berlaku di asrama. Yang tidak kalah penting, warga asrama diwajibkan mengikuti program pengembangan kemampuan soft skill. Yang terakhir ini merupakan salah satu program unggulan yang ditawarkan UGM Residence dan wajib dilakoni. “Supaya berbeda antara mereka yang tinggal di asrama dengan yang tidak,” imbuhnya.
Kegiatan pelatihan pengembangan kemampuan soft skill ditujukan bagi warga asrama agar siap untuk sukses selama kuliah. Berbagai pelatihan yang ditawarkan, antara lain, cara sukses dalam belajar, berinteraksi, dan menyiapkan potensi diri. Tidak hanya itu, pelatihan untuk pengembangan kemampuan dalam kepemimpinan, kewirausahaan, keterampilan menulis, dan tes Toefl juga diberikan. “Kita sudah mempunyai kurikulum berdasarkan formulasi yang dikembangkan UGM. Mahasiswa memiliki kewajiban minimal empat kali dalam setahun mengikuti kegiatan ini,” jelasnya.
Kapasitas 361 Kamar
UGM Residence berdiri di empat lokasi di lingkungan kampus, meliputi Bulaksumur Residence, Cemaralima Residence, Darmaputera Residence, dan Ratnaningsih Residence. Dua asrama baru kini juga tengah dibangun, Kinanti Residence dan Sendowo Residence, yang rencananya akan diresmikan pada pertengahan 2014.
UGM residence seluruhnya terdiri atas 783 tempat tidur. Untuk biaya sewa dikenakan tarif sekitar Rp250.000,00 hingga Rp 500.000,00 per bulan, dengan aturan satu kamar diisi minimal dua orang. “Poinnya tidak ada satu kamar satu orang. Karena ada prinsip, tiap penghuni asrama harus saling berinteraksi,” katanya.
Menerapkan semboyan first come, first served, penghuni UGM Residence saat ini mewakili hampir seluruh pelosok daerah di Indonesia. Tidak hanya dari daerah-daerah di Indonesia, 140-an mahasiswa asing pun memilih tinggal di asrama. “Di asrama, ada semangat saling menghargai, respek terhadap apa yang dilakukan, dan memahami satu dengan yang lain,” ujarnya.
Heny Wijaya, 19 tahun, merupakan salah satu mahasiswa yang memilih tinggal di asrama. Wanita asal Semarang yang kuliah di Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM ini ini mengaku dengan tinggal di asrama, dirinya bisa memiliki banyak teman bahkan saat ini bisa mengenal teman dari berbagai daerah dan berbagai negara.
“Kondisi di sini sangat plural, saya mengenal dunia baru. Awalnya saya menyangka tinggal di asrama, identik dengan banyak aturan, membatasi diri dan lingkungan. Ternyata tidak sama sekali, justru saya bisa beriteraksi dengan teman lain,” ungkap anak pertama dari tiga bersaudara ini.
Tinggal satu kamar dengan Jenifer Tai Wei Ling, mahasiswa asal Malaysia yang kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan, Heny menuturkan tinggal dengan mahasiswa lain dalam satu kamar memang membutuhkan proses adaptasi dan menuntut perasaan untuk saling menghargai satu sama lain. “Kadang ada penghuni asrama yang merasa tidak cocok dengan teman sekamarnya. Namun setelah dimediasi, mereka akhirnya bisa menerima,” kata mahasiwa penghuni asrama bulaksumur ini.
Heny bercerita, ia memilih tinggal di asrama setelah mendapat infromasi dari salah satu alumnus asrama. Ia pun mencoba mendaftar sejak awal masuk kuliah pertengahan 2012. Kendati mahasiswa hanya dianjurkan hanya tinggal selama satu tahun tinggal di asrama, Heny yang dianggap berprestasi dalam mengikuti kegiatan soft skill pun mendapat beasiswa tambahan satu tahun tinggal di asrama. (Humas UGM/Gusti Grehenson)