Konsep agropolitan berbasis pengembangan berbagai komoditas pertanian merupakan salah satu bentuk perencanaan dan penataan pemanfaatan ruang untuk sektor strategis dan potensial. Dengan dukungan fasilitas, sarana dan prasarana fisik, termasuk sistem informasi teknologi dan informasi pasar yang dapat diandalkan, konsep agropolitan diharapkan mendorong percepatan peningkatan nilai tambah dengan diikuti peningkatan produktivitas wilayah dan ekonomi masyarakat pada sentra-sentra produksi pertanian.
“Hal ini merupakan upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya wilayah pusat kegiatan di kawasan pedesaan yang mampu melayani desa-desa di sekitarnya sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi perdesaan. Pusat-pusat kegiatan tersebut kemudian ditata sesuai hierarki pelayanan, lalu ditetapkan dan dituangkan secara jelas, seperti dalam rencana wilayah Kabuten Pohuwato,” ujar Ir. Zulzain Ilahude, M.P di Auditorium Merapi Gedung A Fakultas Geografi UGM, Jum’at (24/1) saat menjalani ujian tebukap rogram doktor bidang ilmu geografi.
Menurut Zulzain, konsep pengembangan agropolitan tidak dapat dipaksakan pada tingkat lokal wilayah desa atau kecamatan, namun harus diperluas hingga ke tingkat regional kabupaten. Sebab, seluruh wilayah kecamatan dalam satu kabupaten dapat dikembangkan sebagai kawasan agropolitan sesuai potensi dan fungsi kawasan.
Selain itu, lanjutnya, perlu ditentukan zona inti (nodul) dan tiga zona kawasan agropolitan yang terdiri dari zona 1 yaitu pusat kota tani, zona 2 pusat sentra produksi dan prosesing industri, serta zona 3 pusat perdagangan lokal. Ketiga zona tersebut merupakan simpul distrik agropolitan yang terintegrasi secara sinergis dan diperlukan dalam perencanaan serta pelaksanaan pembangunan kawasan pertanian.
Dengan demikian dapat dikatakan, pembentukan sistem tata ruang yang secara spasial mengarah ke dalam tingkat hierarki pusat-pusat dalam wilayah terkait dapat berkembang dengan cepat. “Keadaan ini mendorong penciptaan sistem ekonomi regional secara terpadu, dimana setiap distrik memiliki fungsi sesuai dengan karakteristik wilayahnya, yaitu sektor pertanian, industri, dan sektor perdagangan yang terintegrasi dalam satu wilayah regional kabupaten,” papar staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo saat mempertahankan disertasi “Kajian Keruangan Pengembangan Agropolitan Jagung di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo”.
Dalam pola penggunaan lahan, Zulzain berkesimpulan penggunaan lahan di Kabupaten Pohuwato terdiri dari penggunaan lahan pertanian dan bukan pertanian. Sebaran penggunaan lahan pertanian tersebut meliputi lahan kebun campur, kebun kelapa, sawah, dan tegalan. Potensi penggunaan lahan tegalan ditanami dengan tanaman semusim atau tahunan, seperti palawija dan hortikultura.
“Komoditas jagung menjadi komoditas yang mendominasi lahan tegalan seluas 21.651,83 ha dengan produksi 338.651 ton. Komoditas ini tidak ditanam di lahan sawah, bahkan di beberapa tempat jagung ditanam dengan sistem tumpangsari dengan tanaman kelapa,” jelasnya. (Humas UGM/Agung)