Kanker nasofaring atau Nasopharynx Cancer (NPC) merupakan salah satu jenis kanker dengan angka kejadian rendah, kurang dari 1 per 100 ribu penduduk pertahun di dunia. Namun demikian, pada negara tertentu di kawasan Afrika dan Asia Tenggara memiliki angka kejadian yang tergolong menengah sampai dengan tinggi. Salah satunya di Indonesia dengan angka kejadian 6,2 per 100 ribu penduduk pertahun.
Di Indonesia, penyakit yang menyerang daerah leher kepala ini menempati urutan keempat di antarara kanker yang lain. Sayangnya deteksi dini terhadap gejala kanker nasofaring belum banyak dikembangkan. Sebagian besar penderita datang dalam kondisi stadium lanjut sehingga sulit ditangani.
“Dengan keadaan stadium lanjut maka tingkat keberhasilan penanganan penyakit rendah, yaitu kurang dari 30 persen. Selain itu penanganannya pun harus dengan terapi kombinasi yakni radioterapi dan kemoterapi dengan efek samping tinggi dan biaya mahal. Sedangkan NPC stadium dini dapat ditangani dengan radioterapi saja, dengan tingkat keberhasilan lebih dari 80 persen, efek samping yang lebih rendah dan biayanya relatif murah. Untuk itu, dibutuhkan metode untuk mendeteksi NPC pada stadium dini,” urai Dewi Kartika Paramita, S.Si., M.Si., Ph.D., penemu alat deteksi dini kanker nasofaring, baru-baru ini di Fakultas Kedokteran UGM.
Dewi menyebutkan, selama ini deteksi NPC yang dikembangkan dilakukan dengan uji coba di laboratorium ELISA. Pengembangan alat deteksi dengan metode ELISA di Fakultas Kedokteran UGM dimulai oleh Jajah Fachiroh. Pengujian dengan metode ini membutuhkan alat khusus untuk membaca hasil dengan waktu pengerjaan 4-5 jam dan juga biaya relatif mahal. Satu kali tes atau uji setidaknya menelan biaya hingga Rp 250 ribu.
Belakangan ini, Dewi mengembangkan alat deteksi dini NPC yang mudah, cepat, serta akurat. Bahkan dengan biaya yang jauh lebih murah. Satu kit alat tes yang diberi nama IgG NPC Strip ini dibanderol dengan harga maksimal Rp 50 ribu. Alat akan dilempar ke pasaran dalam waktu dekat setelah proses registrasi ke Kementrian Kesehatan RI. Penelitian mengenai NPC di fakultas Kedokteran awalnya dimotori oleh Prof. Sofia Mubarika. Alat ini diharapkan mampu mendeteksi kanker nasofaring pada stadium awal. Dengan begitu angka kesembuhan kanker nasofaring dapat ditingkatkan.
“Jika NPC bisa diketahui sejak dini maka hasil pengobatan bisa lebih baik dibanding daripada yang sudah diketahui stadium lanjut. Tingkat keberhasilannya bisa mencapai 80 persen,” urai dosen di Fakultas Kedokteran UGM ini.
Deteksi dini terhadap NPC juga dapat menekan biaya pengobatan karena belum membutuhkan berbagai terapi. Penderita NPC stadium awal dapat ditangani dengan radioterapi. Selain itu, deteksi dini juga akan meminimalisir efek samping terapi pada penderita. Deteksi NPC dilakukan dengan menggunakan protein dari virus Epstein-Barr (EBV). Pasalnya NPC memiliki keterkaitan dengan EBV. Karenanya beberapa protein EBV dapat digunakan sebagai marker untuk mendeteksi NPC. Salah satunya adalah protein early antigen (EA).
“IgG NPC Strip ini memakai protein EBV sebagai antigen untuk mendeteksi antibodi IgG terhadap protein EA pada pasien kanker nasofaring,” jelasnya sembari menambahkan, pembuatan alat deteksi NPC bekerjasama dengan Lab. Hepatika NTB.
Satu kit IgG NPC Strip berisi 1 strip yang dibungkus aluminium foil dengan rapat, 1 tube berisi 100 µL larutan buffer untuk mengencerkan darah, 1 lancet, dan 1 stik plastik untuk memasukkan darah ke dalam larutan buffer. Penggunaan alat deteksi NPC cukup mudah layaknya alat tes kehamilan. Namun dalam tes ini menggunakan satu tetes darah pasien untuk diuji serumnya. Darah kemudian diencerkan dengan larutan buffer yang telah tersedia pada kit. Selanjutnya NPC strip dicelupkan pada larutan.
“Dalam waktu 3-5 menit hasilnya sudah bisa dilihat. Dinyatakan positif jika terbentuk 2 garis berwarna merah muda dan negatif jika hanya terbentuk 1 garis warna merah muda,” ujar wanita kelahiran Yogyakarta, 3 Maret 1971 ini.
Apabila telah dilakukan tes pada pasien dengan gejala NPC namun menunjukkan hasil negatif, dikatakan Dewi tindakan pengobatan akan dilakukan berkelanjutan dengan melakukan tes kembali 6 bulan kemudian. Dengan cara tersebut diharapkan dapat menekan angka kejadian NPC dan penderita dapat tertangani dengan baik.
Selain murah, alat tes memiliki sensitivitas dan spesifitas yang cukup baik untuk deteksi awal NPC, yaitu sensitivitas sebesar 87 persen dan spesifitas 100 persen.
“Dengan alat ini orang yang sehat semuanya (100%) tidak akan terdeteksi positif. Sedangkan yang positif NPC akan terdeteksi hingga 87 persen,”terangnya.
NPC memiliki gejala yang tidak khas seperti pilek kronis, sakit kepala berkepanjangan, dan, telinga berdenging. Pada stadium lanjut akan muncul benjolan di leher bagian samping atau mata menjadi juling.
“Benjolan kanker nasofaring berada di belakang hidung dan di dalam tenggorokan sehingga tidak tampak dari luar pada penderita stadium awal saat dilakukan pemeriksaan fisik. Dengan gejala yang tidak spesifik itu, sekitar 80 persen pasien diketahui positif NPC setelah kanker menyerang secara luas,” kata Dewi yang aktif mengkaji biologi molekular, NPC, dan imunologi ini.
Data di RSUP Dr. Sardjito mencatat terdapat 269 kasus NPC tahun 2001-2004. Saat ini dilaporkan terdapat 100 NPC kasus baru setiap tahunnya.
“Di Yogyakarta angka kejadian kasus NPC mencapai 6,7 per 100 ribu populasi setiap tahunnya,” imbuhnya.
Dewi menyampaikan penyebab NPC tidak hanya dari faktor genetik. Namun juga bisa timbul karena faktor lingkungan yang memicu munculnya NPC seperti tingginya paparan bahan-bahan bersifat karsinogenik, polusi, maupun asap rokok. Keadaan tersebut juga memicu adanya infeksi di daerah nasofaring oleh virus EBV.
“Virus EBV ini menginfeksi hampir 100 persen populasi penduduk dunia, namun pada sebagian besar orang yang terinfeksi tidak menimbulkan gejala yang berarti,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)