Fakultas Biologi UGM terus mengembangkan program pendidikan dengan melibatkan para mahasiswa yang berasal dari daerah 3T, yaitu terdepan, terluar, dan tertinggal. Hal ini terlihat dari diselenggarakannya program Workshop Wawasan Nusantara dan Wawasan Kebangsaan bagi mahasiswa Program Pra-S2 Biologi UGM yang berasal dari daerah 3T.
Ketua panitia workshop Dr. rer. Nat. Ari Indrianto, S.U. mengatakan 33 mahasiswa yang mengikuti workshop ini adalah dosen atau calon dosen S1 (biologi atau non biologi) beberapa perguruan tinggi dari daerah 3T, seperti Universitas Timor, Universitas Negeri Papua, Universitas Jambi, Universitas Malikussaleh, Universitas Papua, dan Politeknik Gorontalo.
“Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar dan terpadu tentang wawasan nusantara dan kebangsaan bagi para mahasiswa pra-S2,” tutur Ari, Selasa (28/1) di Fakultas Biologi UGM.
Sementara itu Dekan Fakultas Biologi, Dr. Suwarno Hadisusanto, S.U., berharap dengan workshop tersebut para mahasiswa lebih memiliki rasa percaya diri ketika nantinya menjadi seorang pendidik. Ia menjelaskan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antara latar belakang materi ilmu serta wawasannya dengan kompetensi yang dituntut oleh Program Magister bidang Biologi di UGM.
“Program ini sudah yang kedua kali diselenggarakan. Angkatan sebelumnya dulu ada 39 peserta,” terang Suwarno.
Acara ini menghadirkan narasumber Prof. Dr. Lilik Hendrajaya, mantan Rektor ITB yang juga pernah menjabat sebagai Deputi Menristek Bidang Perkembangan Riset Iptek. Dalam paparannya Prof. Lilik menjelaskan empat paradigma kemandirian perguruan tinggi, yaitu Tridharma, riset menuju kemandirian, pengembangan SDM akademik, dan bisnis perguruan tinggi yang bermartabat.
“Lakukan setiap kegiatan dengan mengintegrasikan kemampuan diikuti tridharma secara terpadu, produktif dan terukur,” tegas Lilik.
Terkait riset, Prof. Lilik menilai sangat terbuka untuk dikembangkan di Indonesia. Sayangnya, hal ini belum direspon dengan baik dari pemerintah daerah maupun perguruan tinggi. Ia mencontohkan daerah-daerah yang kaya dengan minyak bumi atau batubara. Akan tetapi, di sana tidak ada satu pun perguruan tinggi yang membuka program studi tentang geologi atau perminyakan.
“Terus terang responnya lambat sehingga justru hal ini dilirik oleh pihak luar. Hal inilah yang harus dirubah,” katanya.(Humas UGM/Satria)