Setiap individu mengetahui bahwa sumber daya kesehatan yang mereka miliki menurun sepanjang waktu, sehingga sejalan dengan bertambahnya usia maka probabilitas terjangkitnya sakit semakin meningkat. Individu di setiap generasi menghadapi risiko kesehatan selama kehidupan mereka, terlebih ketika memasuki usia empat puluh tahun.
Menurut Restiatun, SE., M.Si, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, setiap individu memiliki probabilitas tertentu untuk sakit, sementara kejadian terjangkitnya berbagai penyakit tersebut, beragam pelayanan kesehatan yang dikonsumsi serta out-of pocket monetary loss tidak dapat secara penuh diramalkan. Terhadap risiko tersebut, ada individu yang mengabaikannya namun ada pula yang mempersiapkan sebuah manajemen risiko untuk mengendalikan tingkat risiko dari segi finansial, misalnya dengan membeli premi asuransi kesehatan.
Dalam pandangan Restiatun, pembentukan status kesehatan objektif individu ditentukan dua faktor, yakni faktor yang dapat dikendalikan dan faktor yang tidak dapat dikendalikan. Faktor-aktor yang tidak dapat dikendalikan antara lain usia, jenis kelamin dan faktor genetik, sedangkan faktor yang dapat dikendalikan adalah pola hidup dan pola hidup ini sangat dipengaruhi oleh faktor demografi seperti pendapatan dan pendidikan.
Untuk mengetahui status kesehatan secara objektif, katanya, dapat pula dilihat dari indikator-indikator tekanan darah, kolesterol dan kadar gula darah. Ketiga indikator tersebut sangat menentukan prevalensi risiko untuk terjangkit penyakit akut, yakni stroke, jantung koroner dan diabetes mellitus.
“Disebabkan karena keengganan individu untuk mencari informasi tentang kondisi objektif kesehatan, maka sering terjadi ketidaksesuaian antara fakta objektif dan keyakinan subjekyif individu atas status kesehatannya. Ketidaksesuaian ini dapat pula disebabkan oleh ketidak tahuan individu atas ambang batas sehat untuk indikator-indikator kesehatan tersebut”, katanya dalam ujian terbuka doktor di Auditorium BRI, Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Senin (3/2).
Dalam desertasinya “Analisis Willingness to Pay Premi Asuransi Kesehatan Berdasar Prior Belief dan Posterior Belief setelah Adanya Informasi Status Kesehatan Terkini: Studi Eksperimen Lab”, Restiatun mengatakan selain hasil pemeriksaan kesehatan, pengetahuan ambang batas sehat kadar gula darah signifikan berpengaruh pula pada status kesehatan subjektif individu. Besarnya nilai willingness to pay individu atas asuransi kesehatan ini berikutnya akan berpengaruh pada keputusan individu dalam berasuransi kesehatan.
Berdasar hasil penelitian maka kajian ini dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan individu maupun pelaku bisnis di industri perasuransian kesehatan. Untuk individu secara periodik perlu melakukan pemeriksaan kesehatan, khususnya pemeriksaan tekanan darah, kolesterol dan gula darah untuk mengetahui kondisi objektif status kesehatannya. Untuk pelaku bisnis asuransi kesehatan, baik yang dikelola PT. Askes (saat ini BPJS) maupun asuransi kesehatan privat guna melakukan kampanye untuk mendorong individu mencari informasi objektif status kesehatannya.
“Khusus untuk PT. Askes, hasil pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menghitung secara akurat besarnya jumlah dana yang harus disediakan sesuai dengan prevalensi risiko kesehatan peserta. Sedangkan untuk asuransi privat, informasi hasil pemeriksaan kesehatan individu dapat digunakan untuk menghitung secara tepat besarnya premi yang harus dibayarkan”, ungkap Restiatun. (Humas UGM/ Agung)