Perlindungan terhadap folklor Batak Karo dewasa ini belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari pelestarian beberapa folklor Karo yang saat ini masuk dalam daftar memprihatinkan. Kondisi ini menurut Reh Bungana Beru Parangin-Angin, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan disebabkan di satu sisi masyarakat Karo tidak lagi menggunakan sebagian folklor Karo dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, pemerintah khususnya pemerintah daerah Kabupaten Karo nampaknya tidak terlalu perduli dengan pelestarian folklor Batak karo.
Hal itu terlihat dari minimnya usaha Pemda Karo untuk menginventarisasi folklor Batak Karo. “Selain kurangnya perhatian Pemda Karo terhadap benda-benda budaya Karo, termasuk di dalamnya folklor, saat ini penggunaan folklor tidak hanya terbatas pada masyarakat Batak Karo sendiri namun juga warga negara Indonesia lainnya serta warga negara asing,” ujarnya di Fakultas Hukum UGM, Senin (10/2) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Reh Bungana menjelaskan berdasar Undang-Undang Hak Cipta 2002 sepanjang pemanfaatan folklor Batak Karo dipergunakan dan dikomersialkan oleh warga negara Indonesia, hal tersebut tidak perlu mendapat ijin dari negara. Berbeda halnya, jika pihak yang hendak mengkomersialkan folklor Batak Karo adalah warga asing. Mereka wajib terlebih dahulu untuk meminja ijin kepada negara Indonesia.
Seperti pada Uis Karo yang merupakan folklor Batak Karo. Saat ini penenun Uis Karo adalah orang Batak Toba, baik yang bertempat tinggal di Kabupaten Karo maupun di luar Kabupaten Karo. “Hal ini tidak melanggar UUHC 2002, karena orang Batak Toba juga merupakan warga Negara Indonesia sehingga dalam menenun dan mengkomersialkan Uis Karo tidak perlu mendapat ijin dari negara,” ujarnya.
Meski telah membuat RUU Hak Cipta untuk menggantikan UUHC 2002 yang mengatur folklor saat ini, dalam pandangan Reh Bungana Beru masih diperlukan pengaturan baru dalam perlindungan folklor. Menurutnya tidak tepat jika pengaturan folklor dimasukkan ke dalam lingkup UUHC. Hal ini disebabkan sifat perlindungan hak cipta yang bertentangan dengan perlindungan folklor.
Hak cipta merupakan kepemilikan individual, sedangkan folklor merupakan milik komunal. Folklor sering tidak diketahui penciptanya, sedangkan hak cipta harus jelas siapa yang menjadi pencipta. Sementara itu ciptaan harus bersifat orisinil, sedangkan folklor tidak orisinil karena ditularkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Selain itu, fiksasi (bentuk materi) merupakan prasyarat untuk perlindungan hak cipta, sedangkan folklor banyak tidak diwujudkan dalam bentuk tetap; dan perlindungan foklor bersifat abadi, sedangkan perlindungan hak cipta memiliki batas waktu.
Oleh karena itu, ia berpendapat perlindungan folklor harus diatur di luar lingkup UUHC dan akan efektif jika diatur secara tersendiri dalam undang-undang yang khusus mengatur folklor. Meski telah membuat RUU Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) yang secara khusus mengatur foklor, namun pengaturan foklor dalam RUU tersebut dinilai masih belum memadai karena masih terdapat beberapa kekurangan.
“Karena itu sebelum RUU EBT di sahkan sebagai UU harus terlebih dahulu disempurnakan dalam beberapa hal. Dalam UU tersebut harus diberikan definisi folklor yang tegas dan rinci, jangka waktu perlindungan, dokumentasi, prinsip Free prior Informed Consent (FPIC), pembagian hasil atas pemanfaatan dan penegakan hukum,” pungkas Reh Bungana saat mempertahankan disertasi “Perlindungan Hukum Folklor Batak Karo Ditinjau dari Konvensi Internasional dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”. (Humas UGM/Agung)