YOGYAKARTA – Di tengah pesiapan pemilihan umum, pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang kini tengah dibahas DPR dan pemerintah, didesak untuk dihentikan bahkan diusulkan untuk dikaji ulang. Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM menilai waktu pembahasan RUU tersebut sangat singkat sehingga tidak sebanding dengan jumlah persoalan dan daftar isi masalah yang menumpuk dalam lingkup hukum acara pidana.“Setelah kita telaah, pembahasaan RUU KUHAP sepertinya melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan pembahasannya terkesan tidak ada kooordinasi,” kata Direktur Pukat Korupsi UGM, Dr. ZainalArifin Mochtar, Jumat (21/2).
Meski tidak semua subtansi yang diatur dalam RUU tersebut bermasalah namun Zainal menilai pembahasan RUU KUHAP tidak menyentuh RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal KUHAP merupakan hukum formil untuk menjalankan KUHP sebagai sumber hukum materiil. “Bagaimana mungkin hukum materiilnya belum selesai, namun hukum formilnya selesai lebih dulu,” imbuhnya.
Diakui Zainal, RUU KUHAP akan berimplikasi pada sistem peradilan yang sudah dibentuk sehingga dalam pembahasannya tidak boleh tergesa-gesa. Pasalnya sudah ada UU Kekuasaan Kehakiman, UU Mahkamah Agung, UU Komisi Yudisial yang berpengaruh satu sama lain.”RUU ini berpotensi menghilangkan peran beberapa lembaga yang selama ini mendukung aparat penegak hukum seperti BNN dan PPATK,” ujarnya.
Selain itu, RUU KUHAP menurut Zainal terlihat tidak pro terhadap upaya pemberantasan korupsi seperti adanya penghapusan penyelidikan, pengaturan penahanan perizinan dan sebagainya. Zainal berkesimpulan isi RUU KUHAP yang dibahas oleh DPR saat ini kurang mengakomodasi dan cenderung menciptakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi. “Kita mendesak presiden dan DPR agar pembahasan ini dikaji ulang atau dihentikan,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)