Teori-teori pidana yang sampai sekarang masih diajarkan di bangku-bangku perkuliahan fakultas-fakultas hukum di Indonesia masih bernafas falsafah barat. Teori-teori pidana tersebut tidak berakar pada kultur bangsa Indonesia.
“Padahal untuk menciptakan yang baru, disamping perlu mengetahui yang lama, masih harus diteliti apakah yang hendak diciptakan itu berakar atau tidak di bumi Indonesia,” ujar Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A di UC UGM, Senin (24/2) saat berlangsung Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi “Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangannya Dewasa ini”.
Menurut Sahetapy, teori-teori, permasalahan, dan aspek-aspek sosio-kriminologis yang bertalian dengan pidana dan pemidanaan–singkatnya penologi– bukan suatu masalah yang gampang dan mudah dipecahkan. Banyak teori telah diciptakan, banyak pula yang sulit diterapkan secara praktis.
Semisal, teori Sharp dan Church. Teori Sharp mengadakan pembagian pidana dalam eudemonic dan dysdemonic. Sementara itu, Church membicarakan beberapa mekanisme yang bertalian dengan pidana the fear hypothesis, the competing response hypothesis, the escape hypothesis, and the discrimination hypothesis.
“Apakah teori Church itu dapat diterapkan terhadap manusia masih merupakan suatu pertanyaan, karena teori Chuch diciptakan bertalian dengan percobaan laboratorium terhadap tikus,” tuturnya.
Oleh karena itu, jika pembicaraan menginjak mengenai tujuan pemidanaan, secara makro-sosio-kriminologis hal itu berkaitan dengan masyarakat dan secara mikro-sosio-kriminologis dengan terpidana, lingkungannya, para korban, dan lain-lain. Dengan demikan jelaslah berbagai persoalan dan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Sementara itu, Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum dalam makalah tertulisnya menyebutkan, ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum internasional tidaklah dapat disamakan dengan ukuran berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana nasional. Disamping karena hukum pidana internasional tidak dikodifikasi sebagaimana hukum pidana nasional, hukum pidana internasional juga bersumber dari kebiasaan internasional. Dengan demikian, sangat dimungkinkan berlakunya asas legalitas adalah berdasarkan hukum kebiasaan internasional.
“Padahal dalam konteks hukum pidana nasional, ukuran berlakunya asas legalitas antara lain adalah lex scripta dan lex certa atau berdasar hukum tertulis dan aturan yang jelas sehingga tidak dibenarkan berlakunya asas legalitas hanya berdasarkan hukum kebiasaan,” papar Eddy Hiariej, guru besar Fakultas Hukum UGM dalam makalahnya berjudul “Asas Legalitas dan Perkembangannya Dalam Hukum Pidana”. (Humas UGM/ Agung)