Kasus kejahatan seksual dan pemerkosaan yang melibatkan anak kerap terjadi. Namun dalam pemidaannya di tingkat pengadilan masih mengalami disparitas. Berdasarkan data dari UNICEF Indonesia pada 2006, dengan menggunakan pasal penuntutan yang sama, Pengadilan Negeri Bandung menjatuhi hukuman pada anak yang menjadi pelaku kejahatan seksual selama 1,5 hingga 2 tahun. Sementara itu, untuk kasus yang sama di Pengadilan Negeri Kupang lebih lama, yakni antara 4 hingga 8 tahun.
“Data ini menunjukkan hakim belum mempunyai standar penilaian keadilan yang berefek pada perbedaan pemberian pidana pada pelaku,” ujar dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Fathul Lubabin Nuqul dalam ujian promosi doktor di Fakultas Psikologi UGM, Kamis (27/2).
Menurut Fathul Lubabin, belum banyak penelitian tentang bentuk-bentuk keadilan yang dianut oleh hakim khususnya terkait kasus pemerkosaan. Oleh karena itu, dalam desertasinya, ia meneliti tiga bentuk keadilan–yaitu keadilan retributif, restoratif, dan prosedural–guna memahami keadilan mana yang lebih dianut oleh Hakim Pengadilan Tinggi di Indonesia, khususnya dalam memutus kasus pemerkosaan.
Hasil eksperimen yang dilakukan Fathul Lubabin menyimpulkan bahwa lama pidana, usia pelaku, dan tekanan waktu mempengaruhi penilaian keadilan retributif dan restoratif. Namun, aspek tersebut tidak berpengaruh pada penilaian keadilan prosedural pidana pelaku pemerkosaan. Dari penelitiannya ditemukan pula bila subyek cenderung menganggap kejahatan pemerkosaan merupakan kejahatan yang serius dan layak dihukum berat.
“Terkait dengan lama pidana dan usia pelaku, subyek menganggap pelaku harus diberi pidana. Akan tetapi, pidana yang berat lebih layak diberikan untuk pelaku dewasa; sedangkan pada anak-anak, pidana ringan lebih layak untuk diberikan,” papar Fathul. (Humas UGM/Agung)