Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diberlakukan mulai 1 Januari 2014 lalu. Meskipun BPJS telah berjalan, program ini belum diimbangi dengan ketersediaan tenaga kesehatan yang mencukupi.
Hingga saat ini Indonesia masih kekurangan dokter umum dan dokter spesialis untuk melayani seluruh masyarakat Indonesia. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat.
Data Rumah Sakit Online Kementrian Kesehatan RI mencatat saat ini baru terdapat sebanyak 21.830 dokter umum dan 37.100 dokter spesialis yang tersebar di 2.278 rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Menurut WHO rasio pelayanan ideal satu dokter melayani kurang dari 3.000 pasien.
“Kita masih sangat kekurangan dokter, terutama dokter spesialis untuk melayani masyarakat Indonesia yang lebih dari 237 juta jiwa,” kata Kepala Pustanserdik BPPSDM Kementrian Kesehatan RI, Kirana Puspitasari di sela-sela seminar “Penggunaan Residen sebagai Tenaga Medik untuk Menyeimbangkan Tenaga Kesehetan di Daerah Sulit”, Kamis (6/3) di Fakultas Kedokteran UGM.
Kirana menyampaikan bahwa persebaran dokter spesialis masih belum merata. Kebanyakan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota-kota besar Indonesia. Sementara di wilayah Timur Indonesia, daerah tertinggal, dan perbatasan mengalami kelangkaan.
“Bahkan ada daerah yang sama sekali tidak memiliki dokter spesialis. Padahal aturannya sebuah rumah sakit kelas C atau di tingkat kabupaten setidaknya memiliki satu orang dokter spesialis anak, spesialis kandungan, spesialis penyakit dalam, spesialis bedah, dan anestesi,” ungkapnya.
Dituturkan Kirana dengan pelibatan residen dalam pelayanan kesehatan diharapkan mampu menutupi kekurangan dokter spesialis di daerah sulit. Kebijakan melibatkan residen dalam pelayanan kesehatan telah dilakukan sejak tahun 2007 silam.
“Tahun 2013 ini tercatat ada 800 dokter residen yang ditugaskan secara khusus oleh Kemenkes untuk membantu pelayanan kesehatan di berbagai daerah. Selama sekitar 6 bulan mereka berpraktek,” terangnya.
Ia berharap keterlibatan residen dapat menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis selama ini. Sementara untuk melindungi residen dari berbagi persoalan hukum ketika berpraktek di lapangan nantinya, Kirana menegaskan residen memiliki surat ijin praktek maupun tanda registrasi dari dinas kesehatan kabupaten terkait. Selain itu, mereka diberikan pula kewenangan klinis dari direktur rumah sakit kabupaten terkait.
“Residen bisa melakukan pelayanan kesehatan dengan supervisi dari dokter spesialis senior. Sementara untuk di daerah yang jauh, misal Papua, residen bisa menjadi dokter penanggung jawab pasien asalkan kompetensinya ada dan diakui oleh ketua program tempat dia kuliah,” urainya.
Sebelumnya Bambang Sarjono, Staf Ahli Kementrian Kesehatan RI dalam seminar mengatakan bahwa diperlukan pengaturan jadwal dokter residen yang membantu pelayanan di daerah. Hal tersebut diharapkan tidak hanya bisa menutupi kekurangan tenaga medis tetapi dapat meningkatkan pelayanan kesehatan untuk masyarkat.
“Ada gap yang panjang dalam pengiriman residen. Ada dokter bedah, tetapi tidak ada dokter anestesi yang dikirimkan jadinya mau kerjain apa? Kan tidak bisa. Kedepan harus harus lebih diatur,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Bambang juga meyampaikan bahwa di setiap daerah setidaknya memiliki dokter spesialis dasar.
“Saya kira untuk daerah tertinggal ada dokter spesialis dasar saja sudah cukup. Tidak harus ada spesialis lanjutan, itu bisa didapatkan di luar daerah seperti di Pulau Jawa,”
Berbeda dengan Bambang, Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D., dosen Fakultas Kedokteran UGM menilai bahwa di setiap daerah, termasuk daerah tertinggal bisa memiliki semua dokter spesialis, tidak hanya spesialis dasar saja. Dengan begitu diharapkan pelayanan kesehatan dapat dilakukan di daerah masing-masing.
“Spesialis lanjutan juga harus ada. Misal di NTT harus diinvestasikan ahli ortopedi, jantung dan yang lainnya. Kalau itu tidak dilakukan semua akan berobat ke Jawa,” katanya. (Humas UGM/Ika)