YOGYAKARTA – Tidak semua mahasiswa meghabiskan waktunya di lingkungan kampus. Di tengah kesibukannya dengan tugas kuliah, sebagian dari mereka masih bisa membagikan waktunya untuk kepentingan masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan tiga komunitas mahasiswa UGM yang memiliki kegiatan unik, yakni melakukan pendidikan kebencanaan di berbagai tingkatan kelompok masyarakat. Bahkan, kegiatan itu di lakukan di pulau-pulau terluar di Indonesia.
Komunitas mahasiswa UGM peduli bencana tersebut terdiri tim mahasiswa KKN PPM Unit Sepanjang, Karanganyar, Gadjah Mada Ambassador for Rescue and Safety Action (Gamarsa) dan Global Issued Observer (GIO). Aktivitas mereka di bidang pendidikan mitigasi bencana ternyata mendapat apresiasi dari Japan Foundation untuk mengikuti Youth Competition for Disaster Education di Jepang, pada 11-21 Maret mendatang.
Komunitas mahasiswa UGM ini dinyatakan lolos seleksi bersama tim lainnya dari Universitas Syiah Kuala Aceh dan ITB untuk mewakili Indonesia dalam kompetisi tersebut. Setelah sebelumnya mereka bersaing ketat dengan 319 tim dari perguruan tinggi lainnya di tanah air. Di Jepang, mereka akan berkompetisi dengan tim dari perguruan tinggi lain di ASEAN, Australia, Selandia Baru, dan Timor Leste. Selain berkompetisi mereka bisa bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan mahasiswa dari negara lain.
Dari Pulau Kei Hingga Sabang
Gery Christian dari Komunitas Gamarsa, mengatakan komunitas mahasiswa ini dibentuk atas inisiatif mereka untuk melakukan pendidikan kebencanaan bagi anak-anak terutama anak-anak yang berada di daerah pulau terluar di Indonesia. Menurutnya risiko bencana di pulau kecil tersebut adalah tsunami, gempa bumi, longsor, aberasi, dan pasang surut air laut.
Bekerjasama dengan mahasiswa KKN PPM UGM yang kebetulan tengah berada di lokasi pulau-pulau tersebut, Gamarsa yang anggotakan 42 orang mahasiswa ini membiayai aktivitas kegiatannya dengan menggunakan dana hasil patungan para anggotanya. Menyiasati minimnya keterbatasan dana, di setiap kegiatan di lapangan yang berada di daerah pulau terluar, Gamarsa hanya mengirim 1-2 orang mahasiswa. “Di lapangan, nanti mereka di bantu oleh mahasiswa KKN,” kata Gery, Senin (10/3).
Mengajak anak-anak untuk datang dan tertarik mengikuti kegiatan pendidikan kebencanaan yan mereka lakukan, Gery menuturkan pihaknya menggunakan alat bantu berupa permainan papan ular tangga berukuran 4×4 meter. Tidak hanya itu, mereka juga menggunakan boneka tangan untuk memberikan cerita dongeng yang bertema pendidikan bencana. Aktivitas seperti ini mereka lakukan pada anak-anak di Desa Evu, Pulau Kei Kecil Maluku Penggara; Desa Payah Senara, di Pulau Sabang Aceh; Banjarnegara, Jawa Tengah; dan Kaliadem Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Kalangan Tunanetra
Di setiap kegiatannya, komunitas ini menggandeng pemuda setempat untuk menjembatani kendala bahasa daerah. Namun begitu, kata Gery, anak-anak memiliki rasa keingintahuan yang tinggi terhadap bencana meski dengan karakter berbeda. “Di setiap daerah kita melakukan pendekatan yang berbeda,” tukasnya.
Lain hanya dengan Yori Alief, mahasiswa Geografi dari prodi Ilmu Lingkungan angatan 2011 ini bersama 4 orang rekannya yang tergabung dalam GIO memilih melakukan pendidikan mitigasi bencana pada kelompok masyarakat berkebutuhan khusus. Yori mengajak 15 mahaiswa UGM lainnya melakukan simulasi bencana gempa bumi di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) Yaketunis di Yogyakarta. Pasalnya, sosialisasi mitigasi bencana di SLB sangat jarang dilakukan. “Alasan kita memilih siswa tunatera ini, karena mereka paling rawan terkena bencana, padahal mereka kekurangan pada penglihatannya,” tandasnya.
Keterbatasan pada sisi penglihatan siswa tunanetra menjadi tantangan tersendiri bagi Yori dan kawan-kawa dalam melakukan sosialisasi mitigasi bencana. Mereka pun membuat maket bangunan dengan panduan huruf Braille untuk memudahkan para penderita tuna netra mengetahui jalur evakuasi dan titik kumpul saat terjadi bencana gempa bumi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)