YOGYAKARTA – Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Djoko Kirmanto, Dipl.HE., memperoleh Gelar Doctor Honoris Causa Bidang Sumber Daya Air dan Lingkungan dari Universitas Gadjah Mada. Peanugerahan gelar doktor kehormatan ini diberikan atas prestasi dan dedikasi Djoko Kirmanto dalam memajukan dan mensejahterahkan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dan lingkungan. “Terbukti dari kebijakan beliau di bidang irigasi, konservasi air, dan pengelolaan sumber daya air lewat program pengembangan air untuk rakyat,” kata ketua tim promotor, Prof. Dr. Ir. Sunjoto, Dip.HE dalam acara penganugerahan gelar di ruang Balai Senat, Rabu (19/3).
Pertimbangan lainnya, kata Sunjoto, Djoko Kirmanto dinilai menaruh kepedulian besar pada lingkungan, ditunjukkan dengan munculnya konsep Green City. Disamping itu, di setiap kebijakannya sebagai Menteri, Djoko Kirmanto dinilai selalu mengedepankan peruntukan pengelolaan sumber daya air untuk rakyat. Hal itu direalisasikan dari terbitnya PP No. 16 Tahun 2005 tentang pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dan penerbitan PP No. 20 Tahun 2006 tentang irigasi yang mampu meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pegelolaan irigasi.
Rektor UGM Prof. Dr. Pratikno, M.Soc,Sc dalam kesempatan tersebut menuturkan gelar doktor kehormatan yang diterima alumnus Fakultas Teknik UGM tahun 1969 ini merupakan pemberian gelar yang ke-22. Sejak berdiri, UGM telah memberikan 9 gelar doktor kehormatan kepada tokoh dari luar negeri dan 13 tokoh lainnya dari dalam negeri. “Gelar doctor honoris causa pertama diberikan pada presiden Soekarno,” kata Pratikno.
Pratikno berharap pemberian gelar ini bisa menginspirasi masyarakat luas terutama para calon legislator dan calon pemimpin bangsa untuk menaruh perhatin serius terhadap ketersediaan dan pengelolaan sumber daya air. Menurutnya, apabila salah urus, dikhawatirkan Indonesia tidak menutup kemungkinan menghadapi persoalan krisis air.
Djoko Kirmanto dalam pidato penganugerahan mengatakan kekayaan sumber daya air di Indonesia termasuk yang terbesar kelima di dunia. Tercatat, potensi cadangan sumber daya air kurang lebih 3.900 miliar kubik pertahun yang tersebar dalam 5.886 sungai dan 521 danau. Besarnya potensi cadangan kuantitas sumber daya air dan jumlah penduduk, ketersediaan air perkapita sebesar 16.600 kubik per tahun. Angka ini termasuk tinggi di dunia tetapi secara geografis ketersediaan perkapita antarpulau bervariasi. Setengah dari penduduk Indonesia yang berada di Jawa mendapatkan sedikit air sekitar 1.210 kubik perkapita pertahun atau hanya 7 persen terhadap rata-rata ketersediaan air perkapita.
“Bila tidak dikelola secara bijaksana tidak mustahil ke depan kita akan memasuki era krisis sumber daya air seperti yang dialami beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina,” kata pria kelahiran Solo, 70 tahun lalu ini.
Pria yang menjabat Menteri dua periode berturut-turut ini mengatakan masyarakat miskin khususnya di perkotaan masih banyak yang harus membeli air lebih mahal dari penjual air eceran karena tidak mendapat sambungan langsung dari PDAM, Sementara ini hanya 27,05 persen masyarakat yang mendapatkan akses air minum melalui perpipaan. Hal tersebut disebabkan kecilnya dana, yakni 0,4 persen dari APBD daerah yang dialokasikan untuk penyediaan air minum masyarakat. Padahal pengelolaan PDAM dikelola masing-masing daerah sejak belakunya otonomi daerah. “Kondisi ini membawa implikasi pada pengelolaan sumber daya air yang seharusnya menganut konsep pengelolaan terpadu yang tidak mengenal administrasi wilayah,” tuturnya.
Menurutnya ketersediaan dan pengelolaan sumber daya air ini menjadi tantangan pemerintah yang akan datang dalam mengatur masalah desentralisasi dan otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya air.
Upaya meningkatkan dukungan pemerintah terhadap ketahanan air, Kementerian PU dalam empat tahun terakhir, kata Kirmanto, telah membangun sebanyak 28 waduk yang 11 diantaranya diperkirakan selesai dalam tahun ini. “Waduk-waduk ini akan menambah tampungan air sebesar 1.061,92 juta kubik,” ujarnya.
Sedangkan program penyediaan air minum dan sanitasi untuk rakyat, berbagai upaya sudah dilakukan kementeriannya lewat perlibatan masyarakat melalui penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat. Program yang dilaksanakan sejak 2008 ini telah mencakup 6.855 desa. “Program ini masih dilanjutkan hingga 2016 untuk 5000 desa lagi,” tambahnya.
Kendati begitu, imbuhnya, pengelolaan sumber daya air tidak dapat dipisahkan dari upaya penataan ruang. Salah satu permasalahan yang dihadapi saat ini adalah semakin berkurangnya ruang publik yang dapat dimanfaatkan masyarakat di kawasan perkotaan. Dia menyebutkan ruang terbuka hijau publik di seluruh kawasan perkotaan di Indonesia masih berkisar 11-12 persen, jauh di bawah standar yang ditetapkan UU sekitar 20 persen. “Kita sudah mendorong pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan kota hijau dengan cara memberikan insentif kepada 112 pemerintah kabupaten/kota,” katanya.
Terkait bencana banjir yang melanda Jakarta, Semarang, Pantura, serta banjir Bandang di Manado awal tahun ini, telah menimbulkan kerugian mencapai Rp 10 trliun dengan jumlah terbesar dialami DKI Jakarta Rp 6 triliun dan Jateng Rp 2,1 triliun. Banjir yang melanda Jakarta dan kawasan yang di sekitarnya menurut Kirmanto penanganannya tidak bisa dilakukan secara konvensional, harus dikemas dalam pengelolaan terintegrasi, seperti perbaikan drainase perkotaan, proyek sewerage system dan penegakan perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) terutama di kawasan puncak. “Kementerian PU sendiri telah melakukan dukungan terhadap pengendalian banjir dengan dibangunnya kanal banjir sepanjang 1.263 km dan pembangunan konstruksi pengaman pantai sepanjang 230 km,” tegasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)