YOGYAKARTA – Keterbatasan fisik bukanlah kendala bagi seseorang untuk menggapai prestasi di bangku kuliah. Dua orang mahasiswa UGM, Muhammad Karim Amrullah dan Mukhanif Yasin sudah membuktikannya. Meski memiliki predikat penyandang difabel, keduanya selalu bepretasi di bidang akademik. Bahkan salah satunya pernah mewakili UGM dalam pertemuan di tingkat internasional.
Muhammad Karim Amrullah, mahasiswa Fakultas Hukum UGM ini merupakan penyandang tunadaksa, kedua tangannya tidak bisa berfungsi sempurna seperti orang normal. Namun, dalam segala keterbatasannya, pemuda 20 tahun asal Sleman ini memiliki Indek Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata 3,44. Selain nilai akademik yang bagus, ia juga pernah dinobatkan menjadi mahasiswa beprestasi terbaik Fakultas Hukum UGM tahun 2012 lalu.
Pemuda berkacamata ini mengaku pernah mewakili UGM dalam Asian Law Student Association Conference di Singapura awal tahun 2014. Bagi Karim, keikutsertaannya dalam event internasional itu memberikan tambawan wawasan baginya untuk mengetahui pengalaman negara lain dalam memperlakukan para difabel. “Selain bertemu dan berbagi ilmu dengan mahasiswa hukum dari berbagai negara, saya juga mengamati bagaimana Singapura memperlakukan warga negaranya yang difabel,” kata Hanif ditemui di halaman Balairung UGM, Selasa (25/2).
Menurut Karim, Pemerintah Singapura mengakomodasi kebutuhan para difabel. “Guiding Block banyak ditemui di berbagai tempat publik, lift-nya juga ada huruf braile,” jelasnya. Ia berharap, Pemerintah Indonesia bisa belajar dari Singapura terkait pemenuhan kebutuhan difabel di ruang publik.
Sempat Frustrasi
Memiliki predikat penyandang caca diakui Karim awalnya memberikan beban baginya. Dia menceritakan, sempat mengalami frustrasi saat menempuh pendidikan di bangku sekolah dasar. Pasalnya ia sering diejek oleh teman sekelasnya karena keterbatasan fisiknya. “Dulu saya sempat minder, sehingga takut berangkat sekolah. Tapi Ibu saya selalu bilang, ikhlaskan saja, doakan orang yang mengejek bisa sadar dan memahami kondisi difabel,” kisahnya.
Pesan yang disampaikan sang bunda itulah yang menyemangatinya untuk mengindahkan segala olokan teman-temannya. Yang terpenting, menurut Karim, saat itu ia menunjukkan bahwa dirinya bisa beprestasi dengan teman-temannya.
Cacat bawaan yang dimilikinya saat ini menurut Karim karena dirinya harus menghadapi operasi tulang punggung karena menderita skoliosis, penyakit kelainan pada tulang. “Waktu itu kata dokter operasinya sangat beresiko, jika gagal bisa meninggal atau tambah parah. Dari situlah saya berjanji, jika Tuhan memberikan saya kesempatan hidup, saya akan berubah jadi lebih baik lagi,” kenangnya.
Sering Juara
Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, hobi dan keahliannya melukis sering mengantarkan Karim menjadi juara di berbagai kejuaraan melukis, baik di sekolah maupun tingkat kabupaten. Tidak hanya itu, kejuaraan di bidang fotografi juga pernah diraihnya. “Saya pernah mendapat juara I dalam lomba fotografi kategori pelajar di UNY. Waktu itu event 60 tahun hubungan Indonesia-Jerman,” paparnya.
Prestasi yang sama ditunjukkan oleh Mukhanif Yasin Yusuf. Khanif, begitu ia akrab disapa berasal dari keluarga yang sederhana. Karena memiliki prestasi akademik, sejak SMA, ia sudah mendapatkan beasiswa untuk menunjang pendidikannya. “Saya dulu tidak pernah berpikir untuk kuliah, apalagi di UGM,” kenangnya.
Berhenti Sekolah
Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM angkatan 2011 ini mengaku banyak mendapat penolakan dari lingkungan sekitarnya. “Bahkan ada yang bilang kalau saya paling banter ya jadi tukang cangkul,” kisahnya.
Khanif kehilangan pendengaran sejak usia 11 tahun. Sejak itu, karena tidak kuat dengan ejekan teman-temannya, ia memilih berhenti sekolah. “Dua tahun saya berhenti sekolah karena terus diejek. Ibu saya yang menguatkan, beliau bilang, kalau tidak sekolah mau jadi apa?” ucapnya. Dari situlah Khanif bangkit dan berusaha membuktikan bahwa ia bisa berprestasi seperti orang lain.
Selama proses pembelajaran, Khanif mengaku tidak banyak mendapat kesulitan. “Memang 96% penyandang tunarungu kemampuan bahasanya rendah tapi itu tidak mengganggu saya selama pembelajaran,” tuturnya.
Sejak duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah, Khanif selalu masuk rangking 3 besar, padahal ia satu-satunya penyandang tunarungu di sekolahnya. Begitu pula saat di SMA, ia menjuarai beberapa lomba penulisan, bahkan menjabat sebagai ketua OSIS. “Termasuk saat kuliah, saya berani memilih jurusan sastra yang sangat berhubungan dengan bahasa, meskipun saya tunarungu” tuturnya.
Rintis UKM Peduli Difabel
Di bangku kuliah, Khanif selalu hadir di kelas tepat waktu dan rajin mencatat setiap apa yang ditulis dosen di papan tulis. “Poin-poin pembelajaran dosen kan selalu dicatat di papan tulis, kalau masih belum paham, saya tanya dosen atau mencari literatur,” imbuhnya.
Kendati berbagai aktivitas di organisasinya menyita waktu, Khanif masih bisa mempertahankan nilai akademik dengan IPK 3,59. Bahkan kemampuannya dalam menulis pernah membawanya jadi Juara I Lomba Menulis Kamakarya UGM.
Penulis belasan buku antologi puisi dan cerpen ini berkeinginan agar para penyandang difabel mendapatkan perlakuan sama di masyarakat, termasuk di kampus. Salah satu usaha yang dilakukan Khanif adalah merintis Forum Mahasiswa Difabel dan Partner UGM yang sekarang menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel. “Sambutan universitas sangat baik, sehingga sekarang kami menjadi UKM yang secara resmi diakui,” kata Hanif yang mendata ada sekitar 30 mahasiswa difabel di UGM. (Humas UGM/Faisol)