Yogyakarta masih menjadi tujuan wisata favorit bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Sayangnya, tingginya kunjungan wisatawan belum didukung dengan fasilitas memadai yang memberi kenyamanan berwisata. Hal itu dapat dilihat mulai dari kurangnya kantong parkir, kemacetan, menjamurnya sampah visual hingga lingkungan yang kurang tertata. Apabila hal tersebut tidak segera ditangani dikhawatirkan akan mengurangi keistimewaan pariwisata Yogyakarta. Bahkan kondisi demikian dapat mengurangi minat wisatawan untuk berkunjung.
Antropolog UGM, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra menyebutkan untuk mewujudkan keistimewaan Yogyakarta dalam bidang pariwisata dapat dilakukan dengan menjadikan kota pelajar ini sebagai tempat yang nyaman bagi semua orang. Pasalnya keistimewaan pariwisata Yogyakarta terletak pada nuansa kenyamanan yang ditawarkan melalui masyarakat yang akrab, hangat, dan lingkungan yang nyaman.
“Harapannya kedepan akan ada perda untuk mengatasai berbagai persoalan yang membelit Yogyakarta. Bagaimana membuat Yogyakarta sebagai sebuah kota yang terlihat keistimewaanya, kekhasannya, ngangeni, tetapi kenyamanannya tidak hilang,” paparnya dalam seminar “Mewujudkan Keistimewaan Yogyakarta Dalam Pariwisata” Rabu (26/3) di Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM.
Menurutnya situasi yang semakin tidak nyaman akan menghilangkan keistimewaan Yogyakarta. Karenanya perlu segera dilakukan penanganan untuk mengembalikan kenyamanan Yogyakarta.
“Tidak sedikit yang juga mengeluh merasa tidak nyaman lagi. Jogja tidak lagi berhati nyaman, tetapi berhenti nyaman. Kalau sudah tidak nyaman keistimewaan Yogyakarta akan hilang,” terangnya.
Heddy berkeyakinan melalui kerjasama dengan berbagai pihak terkait dan antarsektor, penanganan permasalahan tersebut bisa komperehensif. Dengan begitu pariwisata Yogayakarta bisa berkembang dengan baik.
“Artinya wisatawan tambah banyak, tetapi tidak terjebak dengan persoalan kemacetan, lingkungan kumuh, kurang parkir dan lainnya. Yang dibutuhkan pengaturan,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Heddy juga menyinggung tentang wisata budaya tradisi alit yang belum banyak dikembangkan Yogyakarta. Padahal DIY memiliki potensi besar terhadap wisata ini.
“Sebetulnya banyak yang bisa dikembangkan, misalnya kesenian-kesenian di masyarakat pedesaan. Sayangnya wisata tradisi alit masih kurang mendapat perhatian. Pengembangan pariwisata Yogyakarta masih terfokus pada wisata tradisi ageng,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S, peneliti Puspar UGM. Menurutnya banyak wisata tradisi alit di DIY yang bisa dikembangkan untuk pariwisata. Hanya saja belum banyak pihak yang melirik wisata di tingkat masyarakat ini.
“Keistimewaan Jogja harus digali, masih banyak yang perlu diungkap salah satunya wisata tradisi alit,” katanya.
Chafid menuturkan dari wisata tradisi alit tidak hanya akan memberikan manfaat bagi kehidupan ekonomi masyarakat bawah. Namun ia meyakini dapat menarik lebih banyak wisatawan untuk melakukan kunjungan ke Yogyakarta. (Humas UGM/Ika)