Proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial berlangsung stabil dalam intensitas rendah sampai tahun 1985-an, mengalami peningkatan intensitas sampai menjelang tahun 1990-an, dan meningkat sangat tajam pada periode 1990-1995 dan periode 1995-2000. Namun, proses tersebut mengalami sedikit pelandaian laju pada periode 2000-2005 dan periode 2005-2010. Fluktuasi intensitas perembetan tersebut dipengaruhi terutama oleh faktor kondisi pertumbuhan ekonomi wilayah. Tipe perembetan yang lebih dominan adalah memadat dan linier, sedangkan arah perembetan terbesar terjadi ke arah timur laut.
Demikian dikatakan Djaka Marwasta, S.Si., M.Si, di Auditorium Merapi Gedung A Fakultas Geografi UGM, Sabtu (12/4) saat menempuh ujian terbuka program doktor. Mempertahankan disertasi “Proses, Dampak, dan Formulasi Indeks Spasial Perembetan Daerah Kekotaan Yogyakarta”, promovendus didampingi promotor Prof. Dr. Hadi Sabari Yunus, M.A dan ko-promotor Prof. Dr. R. Sutanto dan Ir. Subaryono, M.A., Ph.D.
Djaka mengatakan faktor-faktor yang berpengaruh kuat terhadap proses perembetan daerah kekotaan secara spasial di daerah penelitian berupa faktor keberadaan pelayanan publik, faktor aksesbilitas, faktor karakteristik pemilik lahan, dan karakteristik lahan. Faktor keberadaan pelayanan publik dinilai menjadi faktor paling menonjol, karena keberadaannya cenderung memicu munculnya permukiman baru dan fungsi-fungsi kekotaan yang lain.
“Proses perembetan daerah kekotaan menghasilkan dampak terhadap lingkungan fisik, ekonomi dan sosial penduduk di daerah perembetan. Semakin tinggi intensitas perembetan tipe terisolasi dan tipe linier berlangsung di suatu tempat, semakin besar dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan fisik, ekonomi dan sosial,” papar dosen Fakultas Geografi UGM.
Penelitian Djaka menghasilkan formulasi indeks spasial perembetan kekotaan (ISPK) dalam bentuk rumus matematika sederhana. Kelas dari ISPK sebagai indikator tingkat pengendalian perkembangan fisik kota, dan ambang batas toleransi perembetan kota ditentukan secara simultan dari nilai ISPK dengan kepadatan bangunan dan jarak jangkauan lahan terbangun kekotaan.
Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan ISPK tersebut, Kota Yogyakarta memiliki nilai indeks sebesar 0,56 dan termasuk kategori sedang. Angka tersebut sudah mendekati nilai ambang batas kelas tinggi sehingga perlu dilakukan pengendalian secara serius.
“Karena itu, perlu dibuat kebijakan insentif dan disinsentif dalam implementasi kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang dan penggunaan moda transportasi publik. Perlu penciptaan transportasi masal yang efisien sehingga menekan pemborosan energi dan pengendalian perembetan spasial kota agar tidak semakin jauh masuk ke daerah perdesaan,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)