YOGYAKARTA – Jagung merupakan salah satu tanaman pangan yang dikenal luas di tanah air. Sebagai sumber karbohidrat, sebagian masyarakat memanfaatkan jagung untuk makanan pokok sehari-hari. Oleh karena itu, tak heran apabila kebutuhan jagung dari tahun ke tahun terus meningkat. Selain sebagai bahan makanan pokok, jagung juga digunakan sebagai bahan olahan minyak goreng, tepung maizena, etanol, asam organik, dan industri pakan ternak.
Di Indonesia, setiap daerah memiliki jenis jagung lokal masing-masing. Keunggulannya pun bervariasi, mulai dari faktor produksi, umur panen, hingga ketahanan terhadap serangan virus tertentu. Lantas, apa jadinya jika keunggulan setiap varietas jagung dikombinasikan melalui persilangan?
Dr. Diah Rachmawati, M.Si. mencoba mengawinkan dua varietas jagung lokal, yakni Guluk-guluk dan Srikandi Kuning-1. Guluk-guluk adalah varietas jagung lokal asal Madura yang memiliki keunggulan berumur lebih pendek (65-75 hari), memiliki kandungan protein dan lemak cukup tinggi, serta toleran terhadap kondisi lahan kering. Sementara itu, Srikandi Kuning-1 diketahui memiliki ketahanan terhadap virus Cucumber Mosaic Virus (CMV) dan produksinya lebih tinggi daripada Guluk-guluk.
Dosen Fakultas Biologi ini mengatakan alasan melakukan persilangan kedua jenis jagung itu adalah untuk mendapatkan varietas baru yang dapat berproduksi tinggi, memiliki umur lebih pendek, dan tahan terhadap virus. “Yang tidak kalah penting, bisa ditanam di daerah sulit air,” kata Diah ditemui di Fakultas Biologi UGM, Rabu (16/4).
Sebelum bertemu dengan dua jenis jagung tersebut, Rachmawati melakukan pencarian dari berbagai jenis jagung lokal dengan beragam keunggulan dan kelemahan. Ia juga rajin bertanya kepada beberapa kolega, petani, hingga Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) di tiap daerah. Yang menjadi permasalahan adalah tidak semua jagung memiliki keunggulan yang diinginkan. Apalagi pada umumnya jagung lokal lemah terhadap faktor biotik karena tidak tahan terhadap serangan virus, bahkan tidak sedikit yang gagal panen karena virus. “Madura itu memiliki beberapa jagung unggul lokal. Kita menggali informasi varietas mana saja yang punya ketahanan terhadap virus. Akhirnya, dipilihlah Guluk-guluk,” kata Rachmawati seraya menyebutkan penelitiannya telah dirintis sejak 2009.
Guluk-guluk merupakan nama salah satu kecamatan di Madura. Di tempat itu, banyak ditanam pohon jagung. Selain memiliki ketangguhan terhadap virus, jagung di daerah itu umur masa panennya jauh lebih pendek, yakni di bawah tiga bulan atau 75 hari. “Dengan waktu yang pendek, kita harapkan tiap musim ditanam lebih padat,” ujar Rachmawati.
Jagung di Madura dikenal memiliki biji dan kualitas rasa yang disukai masyarakat. Sayang, produksinya masih kecil, sekitar 4 ton perhektar. Berbeda dengan Srikandi Kuning 1 yang benihnya diambil dari Maros, Sulawesi Selatan. Jagung jenis ini memiliki produksi yang jauh lebih tinggi, 7 ton. Kandungan protein dan lemaknya juga lebih tinggi. “Keduanya kita kombinasikan,” kata Rachmawati lagi.
Penelitian jagung hibrida baru ini diharapkan dapat mendukung program pemerintah untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Pasalnya, produksi jagung lokal belum mampu memenuhi kebutuhan pasar sehingga harus dilakukan impor. “Peningkatan produksi jagung nantinya tidak hanya budidaya, tapi juga dengan perbaikan genetiknya sehingga bisa mengembangkan jagung unggul lokal,” tuturnya.
Hasil Persilangan
Secara umum, jagung hibrida hasil persilangan Guluk-guluk dan Srikandi Kuning 1 menghasilkan fenotip biji yang tersusun dalam sebuah tongkol sebagai perkembangan dari bunga betina. Tongkol jagung diselimuti kelobot yang cukup tebal. Buah jagung sewaktu masih muda berwarna hijau kekuningan dan ketika masak secara fisiologis berwarna kuning atau kuning oranye.
Dari hasil uji coba di lapangan, jagung hibrida dari persilangan varietas Guluk-guluk dan Srikandi Kuning 1 menghasilkan produksi jagung kering 6,5 ton perhektar dengan waktu panen 75 hari. Selain unggul dari segi masa panen, jagung itu juga memiliki ukuran tongkol yang lebih panjang, yakni 15-18 cm. “Padahal, panjang tongkol Guluk-guluk hanya 10-13 cm,” katanya.
Yang lebih menarik, jagung hasil persilangan ini memiliki ketahanan terhadap CMV dan kandungan protein yang lebih tinggi. Jagung ini juga tahan terhadap kondisi air yang minim. Untuk mendapatkan hasil kawin silang yang lebih baik, Rachmawati melakukan dengan cara perkawinan resiprok, yakni persilangan ulang dengan jenis kelamin yang dipertukarkan. “Jadi, induk betinanya Guluk-guluk dikawinkan dengan jantannya Srikandi Kuning 1. Begitu juga sebaliknya. Lalu kita pilih mana yang bagus,” tuturnya.
Setelah beberapa kali melakukan kawin silang, akhirnya didapatkan hasil yang diinginkan. Benih jagung hibrida tersebut diberi nama Gama GS dan Gama SG. Jagung GS menunjukkan betinanya adalah Guluk-guluk dan jantannya Srikandi Kuning 1. Sementara Gama SG, betina dari Srikandi Kuning 1 dan jantannya Guluk-guluk. “Untuk memudahkan, kalau yang didepan S atau G, itu adalah betinanya,” terang Rachmawati.
Keunggulan Gama GS dan Gama SG
Menurut Rachmawati, keunggulan Gama GS dan Gama SG terletak pada umur panen yang relatif lebih pendek, sekitar 75–80 hari, dengan produksi mencapai 6 hingga 7 ton perhektar. Data tersebut didapat dari beberapa uji lokasi yang bekerja sama dengan Balitsereal. Empat daerah yang digunakan untuk uji lokasi ialah Klaten, KP4 UGM, Pamekasan (Madura), dan Maros (Sulawesi Selatan). Yang membedakan keempat daerah itu adalah jenis tanahnya, ada yang berupa lahan sawah, ladang, tanah kering, dan berpasir. Uji coba dilakukan pada musim kemarau untuk mengetahui seberapa kuat varietas jagung menghadapi minimnya kadar air tanah.
Dari sisi produksi, Gama GS dan Gama SG memang masih kalah dibandingkan dengan jagung hibrida Pioneer yang sudah dikenal luas oleh kalangan petani. Hanya saja, jagung Pioneer memiliki umur masa panen sekitar 100 hari, sedangkan Gama GS dan Gama SG dapat dipanen dalam tempo 75 hari. “Kalau Pioneer itu bisa panen 10 ton/hektar, tapi dari segi ketahanan virus dan umur, kita masih menang,” ujar Rachmawati.
Tujuan penanaman jagung Gama GS dan Gama SG tidak hanya untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Lebih dari itu, jagung ini diharapkan dapat menjadi unggulan varietas lokal. Dengan teknologi, diharapkan juga dapat ditingkatkan lagi keunggulannya. “Kita ingin melindungi varietas lokal,” kata Rachmawati dengan nada optimis. (Humas UGM/Gusti Grehenson)