Tim mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pemenang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Dirjen Dikti 2014, kembali memperluas jangkauan alat pemanen kabut di Desa Kemitir Sumowono, Kabupaten Semarang. Langkah tersebut dilakukan menyusul pemasangan alat yang dilakukan tahun lalu, dengan bentang lebih kurang dua meter, dinilai berhasil menangkap air sebanyak lebih kurang 10 liter dari kabut yang berjalan selama 24 jam.
”Paranet (jala plastik-red) yang kami jadikan alat penangkap kabut bentangnya kami buat lebih panjang, dari dua menjadi delapan meter dengan sistem pemasangan seperti huruf L. Diharapkan, tangkapan uap air akan bertambah, bila dihitung dengan rumus tertentu paling tidak dalam semalam bisa menghasilkan air lebih dari 14 liter untuk keperluan pertanian,” kata Ketua Tim PKM Adopsi Teknologi Pemanen Kabut UGM, Vianita Meiranti Yogamitria, di sela-sela memasang perangkat di Dusun Ngoho, Kemitir, Sumowono, belum lama ini.
Dirinya bersama empat mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu lainnya, di antaranya Sarjono (Jurusan Ilmu Tanah), Musofa dan Puji Utomo (Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan), serta Nur Sayyidah Azzahra (Jurusan Penyuluh Komunikasi Pertanian) UGM, merasa tertarik mengembangkan teknologi tepat guna ini menyusul ada informasi bila petani di Desa Kemitir, Sumowono selalu kesulitan mendapatkan air pada Juli hingga Oktober. Dari hasil kajian yang dilakukan, diketahui bila wilayah Kemitir termasuk daerah dominan kabut meski siang hari.
Hemat Biaya
”Peralatan yang diperlukan sangat sederhana dan terjangkau, meliputi paranet, talang PVC, alat fertigasi tetes, dan selang kecil. Jika ingin menghemat biaya, penampang bisa menggunakan bambu bukan besi atau aluminium. Adapun air akan dialirkan dengan memanfaatkan gaya grafitasi, artinya tidak butuh alat khusus namun hanya mengandalkan akurasi hitungan saja,” papar Vianita Meiranti.
Melihat hasil capaian yang dilakukan oleh mahasiswa, Kepala Desa Kemitir, Puji Utomo menyambut baik dan berencana akan menyampaikan kepada warga yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sayur. ”Sumur bantuan pemerintah tidak ada airnya ketika kemarau, karena wilayah kami berada di ketinggian lebih kurang 1.400 meter di atas permukaan laut. Dengan begitu, airnya mengalir ke wilayah yang lebih rendah,” ungkapnya.
Di sisi lain, salah satu petugas fungsional penyuluh pertanian dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Agus Sutanto menandaskan, pihaknya berjanji akan mengadopsikan pengembangan teknologi mahasiswa UGM tersebut ke wilayah yang dirasa potensial sebagai tangkapan kabut. Kabut tidak hanya ditemukan di dataran tinggi di Jawa Tengah seperti Kabupaten Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara, dan Kabupaten Purbalingga.
”Tetapi bisa juga ditemukan di dataran rendah, misalnya di sekitar Bandara Ahmad Yani Semarang yang notabene sering terjadi kabut. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan perangkat itu bisa ditempatkan di sekitar bandara selain di perbukitan,” tandas Agus. (Humas UGM/ Agung)