YOGYAKARTA – Sebanyak 31 aktivis lembaga swadaya masyarakat se-Asia Pasifik membahas proses pengawasan dan transparansi tata kelola pemanfaatan kekayaan sumber daya alam. Kegiatan yang berbentuk pelatihan yang difasilitasi Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM, Revenue Watch Institute, dan USAID ini diikuti para aktivis dari berbagai negara seperti Malaysia, Kamboja, Myanmar, Afganistan, Filipina, Timor Leste, Singapura, Vietnam, Libanon, dan Indonesia.
Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM sekaligus penyelenggara kegiatan, Prof. Dr. Purwo Santoso mengemukakan para aktivis LSM ini akan berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam memperbaiki tata kelola industri ekstraktif. Pasalnya, kekayaan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi, batu bara, serta bahan tambang lainnya menjadi sumber konflik dan rawan sumber tindak pidana korupsi.
Menurut Purwo, daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah mendorong tumbuhnya industri ekstraktif. Selain mampu mengundang investor dan terkumpulnya perputaran uang dalam jumlah besar bahkan masuknya teknologi maju, industri ekstraktif ini dinilai masih dikuasai oleh para segelintir elit politik dan elit ekonomi. “Kelompok kecil masyarakat yang menguasai sumber daya yang besar itu bisa menyebabkan pertumpahan darah, hal ini yang dialami oleh Negara-negara di Afrika. Hal ini yang disebut ancaman kutukan sumber daya alam,” kata Purwo dalam pembukaan pelatihan Improving the Governance of Extractive Industri: Asia Pasific Hub on Extractive Industries di Ruang Multimedia, Gedung Pusat UGM, Senin (28/4).
Di Indonesia, kata Purwo, kandungan sumber daya alam tiap daerah beragam. Daerah-daerah seperti Aceh, Kaltim, Papua, dan Bojonegoro merupakan daerah yang memiliki potensi tersebut. Namun apabila tidak dikelola dengan baik dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan sosial karena konflik kepentingan ekonomi “Sumber daya alam yang besar bisa menjadi petaka padahal seharusnya bisa jadi berkah bersama,” ujarnya.
Untuk memperbaiki tata kelola tersebut, tambahnya, tata kelola industri ekstraktif tersebut harus dirumuskan dengan baik sejak awal dan harus dikawal dengan baik oleh kekuatan kelompok masyarakat sipil. Bahkan kekuatan media dan transparansi perlu dikuatkan.
Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno dalam kesempatan yang sama menyambut baik adanya pelatihan tata kelola industri esktraktif yang diikuti aktivis LSM Se-Asia Pasifik. Menurut Pratikno, tata kelola industri ekstraktif membutuhkan dukungan dari LSM, media massa dan masyarakat kampus. Namun begitu, contoh kasus di Indonesia, tidak semua daerah memiliki kelompok masyarakat sipil yang kuat, apalagi sebagian media masih dipegang oleh para elit lokal yang berkepentingan. “Ini tantangan bagi Indonesia di masa depan,” katanya.
Pelatihan yang berlangsung pada 28 April hingga 10 Mei ini rencananya akan membahas isu-isu terkait industri ekstraktif seperti dampak sosial lingkungan, manajemen pendapatan, pajak, royalti dan kontrak kerja, serta memperluas persyaratan transparansi industri ekstraktif. (Humas UGM/Gusti Grehenson)