Pemerintah perlu melakukan penguatan pasal-pasal dalam Undang-Undang Mineral Batu Bara (Minerba). Hal tersebut penting dilakukan agar tidak diketemukan celah yang memungkinkan negara lain mempermasalahkan larangan ekspor mineral mentah. Disamping itu juga akan memudahkan dalam pelaksanaan nantinya.
Demikian rekomendasi yang dihasilkan dari Kajian Hukum “Menyoal Kedaulatan Indonesia dalam UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Batubara Pada Peta Politik dan Ekonomi Internasional”, Kamis (8/5) di Fakultas Hukum UGM. Dalam kegiatan yang diadakan Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH) UGM itu menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Rangga Aditya Dachlan, S.H., LL.M. (dosen Hukum Internasional UGM), Dr. Nanang Pamuji Mugasejati, M.A. (dosen FISIPOL UGM), dan Muhtar Said, S.H., M.H. (peneliti dari Satjipto Rahardjo Institute Semarang).
Seperti diketahui,pemberlakuan pelarangan ekspor mineral Indonesia memicu rekasi keras dari Jepang dan berencana melayangkan gugatan ke WTO. Gugatan tersebut didasari pada besarnya kebutuhan ekspor nikel Jepang dari Indonesia.
“Setidaknya 44 persen kebutuhan nikel Jepang didatangkan dari Indonesia. Ketergantungan terhadap mineral Indonesia sangat tinggi,” jelas Rangga Aditya Dachlan.
Dengan penerapan UU Minerba, dikatakan Rangga memaksa Jepang untuk mengentikan impor nikel dari Indonesia dan mengalihkan impor ke negara lainnya. Hal tersebut mendasari Jepang melaporkan Indonesia kepada WTO karena dinilai melanggar ketentuan dalam pasal 13 GATT mengenai tidak diperbolehkannya larangan ekspor impor produk tertentu bagi semua anggota WTO.
Rangga mengatakan adanya penggantian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara tanggal 12 Januari 2009 telah menimbulkan sejumlah perubahan. Diantaranya, terkait pengelolaan pertambangan, antara lain mengenai perubahan ijin kuasa pertambangan menjadi ijin usaha pertambangan serta larangan ekspor.
Menanggapi rencana gugatan Jepang terhadap Indonesia, Nanang Pajumi Mugasejati mengatakan bahwa peran diplomasi diperlukan untuk tetap melindungi kepentingan negara. Bagi negara maju WTO adalah ajang kompetisi yang harus dimenangkan, termasuk Jepang. Sebagai penguasa produk di wilayah Asia Timur dan Tenggara, Jepang merupakan mitra Indonesia dalam melakukan ekspor mineral dan energi yang jumlah sekitar 16 persen. Namun, Indonesia impor hasil dari mineral mentah tersebut dengan wujud, mobil, mesin, dan vehicle truck.
Nanang kembali menegaskan bahwa sebetulnya sejak tahun 2007 Indonesia dan Jepang telah melakukan perjanjian Japan Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA) atau Perjanjian Kerjasama Ekonomi Jepang-Indonesia. Perjanjian berisi tentang penurunan tarif impor Jepang dimana sebagai gantinya Jepang akan membantu meningkatkan sumber daya manusia Indonesia di 13 sektor.
“Perjanjian tersebut telah berjalan selama lima tahun namun peningkatan SDM yang menjadi kewajiban Jepang tidak dijalankan dengan alasan, ahli expert mereka belum siap,” terangnya.
Melihat kondisi tersebut Nanang mencoba menawarkan strategi baru bagi Indonesia yang didasarkan dari teori Five Ps Henry Minztberg (Perspective, Plan, Ploy, Position, Pattern). Langkah awal dengan mendudukan kembali pasal 33 dan 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang seharusnya menjadi pedoman dasar dalam menentukan kebijakan terkait pertambangan. Selanjutnya menentukan rencana Indonesia untuk mencapai kedaulatan dan kemakmuran bangsa. Setelah itu menentukan taktik untuk memenangkan kompetisi di tingkat global, kemudian menentukan dari mana Indonesia harus memulai menjalankan strateginya. Tak kalah penting ialah menentukan bagaimana cara melembagakan strategi ke semua aktor dan bagaimana mengatasi fragmentasi yang ada selama ini.
“Jika hal tersebut dilakukan secara cermat oleh Indonesia, bukan tidak mungkin Indonesia memiliki bargaining position yang kuat dalam perdagangan di tingkat dunia juga ASEAN,” tandasnya.
Muhtar Said menegaskan pentingnya keberadaan mineral dan batubara. Hal itu tidak hanya berpengaruh terhadap kesejahterana rakyat, tetapi juga terhadap kedaulatan bangsa. Penerapan undang-undang minerba, menurutnya memberikan angin segar bagi rakyat Indonesia. Pasalnya undang-undang tersebut lebih memartabatkan bangsa daripada investor.
“Bisa dilihat dalam pasal 129 UU No. 4 tahun 2009 yang berbunyi pemegang IUPK operasi produksi untuk pertambangan mineral logam dan batu bara wajib membayar sebesar 4% kepada pemerintah dan 6% pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi,” jelasnya.
Dalam kegiatan tersebut juga dihasilkan rekomendasi lain yaitu perlu dilakukan penguatan kesadaran di tingkat daerah hingga pusat dalam mengelola sumber daya alam dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain itu, perlu diupayakan pula peningkatan metode lobbying (invisible parties).(Humas UGM/Ika)