YOGYAKARTA – Tujuannya sederhana, membantu kalangan tunanetra mengenal lebih jauh mengenai pentinganya kesehatan gigi dan mulut. Lima orang mahasiswa UGM membuat alat peraga gigi berukuran besar. Uniknya, alat peraga gigi ini terbuat dari bahan limbah serbuk kayu. Kendati begitu, gigi tiruan ini sudah dilengkapi sistem elektronis berbasis mikrokontroler, setiap bagian gigi yang disentuh mampu menghasilkan suara secara otomatis.
Alat peraga gigi interaktif ini dinamai ‘tootells’ atau gigi berbicara. Sebab tiap bagian gigi yang disentuh, kurang lebih selama satu menit, kita akan mendengarkan penjelasan mengenai bagian-bagian yang ada gigi atau penyakit pada gigi seperti email, dentin, pulpa, dan gigi berongga. “Kelebihan alat peraga gigi yang kita buat ini, selain besar, juga dilengkapai sensor sentuh, salah satu bagian ditekan akan muncul bunyi,” kata Aprialiani Astuti, mahasiswa dari Prodi Pendidikan Dokter Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi UGM, Jumat (16/5) didampingi empat anggota mahasiswa lainnya, Isti Noor Masita, Navikatul Ula, Hamzah Assaduddin, dan Brisma Meihar Arsandi.
April, demikian ia akrab disapa, menuturkan, pembuatan gigi ‘berbicara’ ini sasarannya awalnya dikhususkan untuk kalangan tunanetra namun tidak menutup kemungkinan sebagai media pembelajaran bagi anak-anak dan orang dewasa untuk lebih tahu banyak kesehatan gigi dan mulut. “Alat peraga ini bisa jadi altenatif media pembelajaran untuk mempelajari anatomi gigi,” katanya.
Diakui April, selama ini alat media pembelajaran gigi yang sudah ada sangat sulit untuk menjelaskan lebih detail tentang anatomi gigi kepada para siswa tunanetra karena ukuran alat peraga gigi yang dibuat terlampau kecil. Ditambah adanya penjelasan otomatis tentang bagian yang dijelaskan pada gigi maka memudahkan siapa pun untuk lebih mengerti tentang gigi. “Karena itu kita sengaja pasangkan alat sensor dan mikrokontroler yang dilengkapi speaker didalam gigi ini,” kata Hamzah Assaludin, mahasiswa Prodi Teknik Mesin, Fakultas Teknik.
Meski sudah tiga kali gagal, kata Hamzah, alat peraga yang dibuat sejak Februari lalu tersebut, menghabiskan biaya kurang lebih total Rp 3 juta. Tapi untuk sementra ini hanya ada satu gigi yang dibuat. “Kita baru membuat gigi geraham, sedangkan tiga jenis gigi lainnya akan kita buat juga,” katanya menambahkan.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait alasan mereka mimilih serbuk kayu sebagai bahan utama, dengan tegas Isti Noor Masita menjelaskan bahwa pemilihan bahan lebih dikarenakan untuk memanfaatkan bahan yang sudah tidak terpakai. Selain murah dan mudah didapat, bahan tersebut cocok untuk membuat bentuk gigi tiruan. “Kita tahu, serbuk kayu jarang digunakan, lebih sering dibakar. Kita coba manfaatkan,” kata mahasiswa FKG UGM ini.
Sampai saat ini, media pembelajaran gigi ‘berbicara’ ini sudah dikenalkan pada salah satu Sekolah Luar Biasa khusus Tunanetra di Kota Yogyakarta. Menurut pengakuan April, banyak siswa tunatera yang menyambut baik kehadiran alat peraga ini. Selain memudahkan mereka tahu lebih banyak bagian anatomi gigi, siswa juga tahu beberapa penyakit pada gigi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)