YOGYAKARTA – Dubes Uni Eropa untuk Indonesia, Olof Skoog, menegaskan produk kayu dan CPO dari Indonesia belum sepenuhnya dianggap sebagai produk yang ramah lingkungan. Pasalnya, pengolahan produk-produk tersebut ditengarai berdampak dengan makin meluasnya area penebangan hutan, kendati produk tersebut sudah mendominasi pangsa pasar Uni Eropa. “Masalahnya pada konsumen Uni Eropa, mereka sangat peduli pada produk yang ramah lingkungan,” kata Skoog ditemui disela-sela menghadiri The 3rd Convention of European Studies yang diinisiasi Prodi Hubungan Internasional Fisipol UGM, Rabu (21/5) di ruang Balai Senat UGM.
Skoog mengakui bahwa produk industri kayu dan kertas dari Indonesia menguasai sekitar 10 persen pangsa pasar di Uni Eropa bahkan produk CPO dan turunannya sebagai produk impor terbesar ketiga di Uni eropa. Namun begitu, sejak Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian Kemitraan Sukarela tentang Penegakan Hukum, Ketatalaksanaan dan Perdagangan di bidang Kehutanan atau Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT), perhatian pada persoalan lingkungan sangat lebih diutamakan. Perjanjian ini pun sudah berlaku sejak tahun 2013 lalu setelah tujuh tahun melalui proses perundingan yang alot. “Indonesia merupakan negara Asia pertama yang menyelesaikan negosiasi VPA (Voluntary Partnership Agreement) dengan Uni Eropa,” katanya.
Seperti diketahui, Uni Eropa merupakan pasar utama bagi produksi hutan Indonesia dengan nilai ekspor rata-rata US$ 1.2 miliar pertahun dari industri kayu dan kertas. Uni Eropa sendiri menyerap 33 persen dari ekspor kayu Indonesia, sisanya ke Amerika dan Jepang.
Meski untuk produk bidang kehutanan sudah dilakukan perjanjian kemitraan sukarela, namun untuk produk kelapa sawit menurut Skoog belum ada perjanjian. Kendati begitu, dia berharap pemerintah tetap mendorong para pengusaha untuk tetap memperhatikan pembangunan berkelanjutan. “Saat ini Uni Eropa, Australia dan Amerika memberi perhatian sejauh mana Indonesia memperhatikan kepentingan generasi mendatang terkait proses pengelolaan kekayaan sumber daya alam,” katanya.
Wakil Dubes Uni Eropa, Colin Crooks, menuturkan untuk produk kelapa sawit dari Indonesia mengusasai sekitar 48 persen pangsa pasar di Uni eropa. Bahkan dalam kurun waktu lima tahuan terkahir, jumlah ekspor CPO RI naik dua kali lipat. Namun Crooks tidak merinci persentase jumlah produk CPO yang berkategori tergolong bahan mentah atau barang yang sudah diolah. “Pokoknya ada produk bahan mentah dan ada yang sudah diolah,” katanya.
Tantangan Bagi Presiden Mendatang
Apa yang diinginkan oleh konsumen uni eropa terhadap produk kayu dan kelapa sawit dari Indonesia, menurut Skoog, seharusnya menjadi perhatian pemerintah RI mendatang. Menurutnya, Presiden harus memperhatikan agar pengolahan kayu dan kelapa sawit jangan samapai merusak kelestarian hutan. “Pemerintah harus memperhatikan proses pengolahannya dengan baik,” katanya.
Menjawab pertanyaan wartawan, Skoog mengaku dirinya mengikuti perkembangan pesta pemilihan umum yang kini tengah berlangsung. Dia berpendapat Presiden RI mendatang harus fokus pada pertumbuhan ekonomi, pembela hak asasi manusia, dan berkomitmen pada pembangunan berkelanjutan. Dia juga berharap presiden yang baru tetap terbuka bagi siapapun, menanamkan nilai-nilai demokrasi, norma sosial, membela hak buruh dan memperhatikan kemajuan infrastruktur dan pendidikan. “Uni Eropa siap membantu membangun kapasitas dan investasi,” terangnya.
Rektor UGM, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., menegaskan Uni eropa merupakan salat satu mitra dagang utama bagi Indonesia. Oleh karena itu, hubungan antara keduanya bisa mendukung isu perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Dirinya mengapresiasi telah ditandatanganinya perjanjian Kemitraan Sukarela tentang Penegakan Hukum, Ketatalaksanaan dan Perdagangan di bidang Kehutanan, “Untuk perjanjian perdagangan CPO masih dalam tahap negosiasi,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)