Karsinoma nasofaring merupakan keganasan epitel nasofaring yang paling menarik ahli onkologi, patologi, ilmuwan dan ahli epidemologi. Area nasofaring yang sulit dan tersembunyi menyebabkan diagnosis klinik karsinoma nasofaring (KNF) terlambat dilakukan, sehingga deteksi dan diagnosis dini menjadi problem penting bagi manajemen KNF.
Demikian dikatakan dr. Awal Prasetyo, M.Kes, Sp.THT-KL, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro saat menjalani ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Kamis (19/6). Didampingi promotor Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto, Sp.THT dan ko-promotor Prof. dr. Sofia Mubarika, M.Med.Sc., Ph.D dan dr. Totok Utoro, D.Med.Sc., Sp.PA(K), promovendus mempertahankan desertasi “Faktor Resiko, EBER, [IgA EBNA1+VCA p-18], LMP1 dan CD99 sebagai Kombinasi Baru Diagnosis Etiologi Karsinoma Nasofaring”.
Dikatakan Awal Prasetyo, dewasa ini diagnosis KNF ditegakkan secara klinis dan hispatologi. Meski begitu, di era terapi inidividual perlu kiranya ditambahkan diagnosis etiologi yang mengandung nilai prognosis untuk menentukan manajemen terapi personal.
Etiologi KNF merupakan interaksi kompleks antara resiko kerentanan genetik, gaya hidup sehari-hari (termasuk kebiasaan makan), paparan lingkungan dan infeksi EBV. Peran masing-masing risiko berbeda dan bersifat spesifik, sehingga diperlukan indentifikasi tersendiri untuk menentukan dominasi etiologi yang melatarbelakangi karsiogenesis KNF.
“Dahulu, pemahaman risiko terjadinya KNF dikaitkan dengan status sosio-ekonomi, kebiasaan makan, termasuk gaya hidup tradisional dan status kesehatan. Kini semakin terbukti bahwa KNF disebabkan karena adanya perpaduan aspek etnik/ras, lokasi geografis, inveksi EBV, kerentanan genetik dan faktor lingkungan,” kata Awal.
Oleh karena itu, dalam desertasinya ditawarkan kombinasi baru metode pemeriksaan untuk diagnosis etiologi yang komprehensif. Diagnosis etiologi melalui identifikasi riwayat kanker pada keluarga, deteksi risiko gaya hidup dan paparan lingkungan, pemeriksaan titer IgA [EBNA1+VCA p-18] ELISA, LMP1 dan CD99, sehingga menjadi kebaruan dalam manajemen KNF. (Humas UGM/ Agung)