YOGYAKARTA – Siapa sangka, anak penjual kue apem asal Salatiga, tidak lama lagi akan menggapai mimpinya untuk menjadi Dokter Gigi. Saat ini, Setyaningsih, 22 tahun, tengah mengikuti pendidikan profesi dokter gigi atau koasistensi di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UGM. “Sekarang baru jalan 8 bulan, pendidikannya tinggal 7 bulan lagi,” kata anak bungsu dari 7 bersaudara ini saat ditemui di sela kegiatan Koasistensi di depan gedung auditorium FKG UGM, Jumat (27/6).
Sebelumnya, putri pasangan Masykuri dan Painem ini diterima kuliah lewat jalur Program Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu (PBUTM) UGM tahun 2009. Bagi mereka yang diterima lewat jalur ini, dibebaskan biaya kuliah hingga selesai. Kendati kuliah gratis, dia ternyata mampu menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Gigi 3 tahun 10 bulan.
Ning, sebagaimana ia akrab disapa bercerita, meski dirinya kuliah gratis di UGM, namun penghasilan ekonomi kedua orangtuanya tidaklah cukup untuk menutupi kebutuhan hidupnya selama kuliah. Sang Ayah, kini berumur 74 tahun, bekerja sebagai buruh tani. Sedangkan sang ibu, penjual apem keliling di pasar salatiga. Untuk biaya makan dan sewa kost, Ning dibantu oleh saudara-saudaranya. Ning berpikir ia tidak ingin membebani kedua orangtuanya yang sudah bekerja keras sejak puluhan tahun menyekolahkan seluruh anaknya yang berjumlah 7 orang itu. Dari 6 orang saudaranya tersebut, Ning mangaku 3 kakaknya berhasil lulus sarjana dan satu orang lulus Diploma. “Hanya satu yang tidak selesai kuliah, dua orang hanya tamat SMA,” ujarnya.
Kegigihan kedua orangtuanya dalam menyekolahkan anak-anaknya mendorong Ning untuk memberikan yang terbaik buat keduanya. Apalagi Ning selalu ingat pesan sang Ayah, “Nggak usah mikirin biaya, yang penting sekolah,” kata Ning meniru pesan Ayah.
Suatu ketika, Ayahnya pernah kesulitan membayar biaya sekolah salah satu anaknya. Karena tidak ada uang, beberapa pohon kelapa di belakang rumah ditebang lalu dijual untuk ganti membayar uang sekolah. “Sering juga pinjam tetangga,” terangnya.
Meski kehidupan ekonomi keluarga pas-pasan, Ning mengaku ia dan saudaranya yang lain selalu berprestasi di kampus dan di sekolah sehingga sering mendapat bantuan beasiswa. Tidak cukup mengandalkan beasiswa, hampir semua saudaranya melakoni kuliah sambil kerja. Ning pun melakukan hal yang sama. “Selama kuliah, saya mengajar les untuk anak-anak 3 kali seminggu,” katanya.
Ning mengaku beruntung bisa diterima kuliah gratis di UGM karena hal itu sangat membantu meringankan beban orang tuanya. Kini Ayahnya lebih banyak menghabiskan masa tuanya dengan beristirahat di rumah. Sementara sang ibu masih aktif berjualan apem keliling di pasar Salatiga. Tiap pagi ibunya yang berumur 64 tahun itu menjual ratusan apem yang dijual seharga Rp 1000 per biji. “Kalo pulang ke rumah, saya sering membantu beliau buat apem,” kata Ning yang berkeinginan ingin menjadi dokter gigi spesialis. (Humas UGM/Gusti Grehenson)