Pada tahun 1900-an terjadi migrasi masyarakat Jawa ke sejumlah negara untuk bekerja sebagai buruh di perkebunan karet. Migrasi dilakukan ke beberapa tempat seperti Semenanjung Malaya, Malaka, Suriname, dan Serawak.
Dra. Lucia Juningsih, M.Hum., dosen Jurusan Sejarah Universitas Sanata Dharma mengatakan keberadaan buruh Jawa migran di wilayah pantai barat Semenanjung Malaya secara sosial di perkebunan karet yang bersifat heterogen tidak mengalami transformasi. Demikian halnya dalam aspek budaya, orang Jawa migran tetap sebagai orang Jawa seperti dalam komunitas aslinya. Mereka hidup menurut tradisi dan budaya Jawa dan menggunakan simbol-simbol budaya Jawa seperti nama dan bahasa Jawa.
“Ada kecenderungan tradisi dan budaya Jawa semakin mengakar kuat dalam kehidupan buruh Jawa migran yang tinggal di pemukiman Jawa. Mereka punya banyak pendukung sheingga tidak kesulitan dalam memlihara budaya Jawa,” urainya saat ujian terbuka program doktor, Senin (14/7) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Berbeda dengan yang terjadi pada kehidupan buruh Jawa migran yang bekerja di kebun karet orang Melayu yang bersifat homogen. Buruh Jawa migran bertransformasi menjadi orang Jawa Melayu. Transformasi terjadi karena mereka menjadi kelompok minoritas dan tidak dapat menunjukkan eksistensi secara merdeka di luar komunitas aslinya.
“Meski menjadi Jawa Melayu lantas tidak serta merta menghilangkan budaya Jawa. Sebagian dari mereka masih tetap memelihara budaya Jawa,” terang wanita kelahiran Purwodadi 54 tahun silam ini.
Dalam disertasi berujudul “Jawa Migran dan Jawa Melayu: Transformasi dan Adaptasi pada Masyarakat Jawa di Pantai Barat Semenanjung Malaya Tahun 1900-1957”, Lucia menyebutkan laki-laki selalu mengikutsertakan perempuan dalam proses transformasi. Perempuan dalam hal ini berperan sebagai agen perubahan sosial yang memperkenalkan budaya Melayu pada keluarga. Sementara proses transformasi pada orang Jawa migran dilakukan melalui perkawinan, pendidikan, kegiatan keagamaan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa buruh Jawa migran yang fanatik terhadap budaya Jawa melakukan berbagi upaya untuk meletarikan budaya Jawa. Salah satunya dengan membentuk perkumpulan Jawa Peranakan Malaya. Melalui wadah ini mereka menyelenggarakan tradisi Jawa.
“Upaya ini sebagai revival budaya Jawa, karena mereka sadar sulit mempertahankan budaya Jawa di tengah-tengah masyarakat multikultur,” ujarnya.
Sementara orang Jawa migran yang bertansformasi menjadi Jawa Melayu lebih didasari pada upaya merubah bahkan menaikan status sosial di masyarakat. Keputusan tersebut merupakan strategi untuk mengubah posisi dari orang pinggiran ke pisisi sentral. Selain itu untuk mengubah stigma negatif terhadap pribumi seperti malas, bodoh, pasif, dan tidak kreatif yang diberikan kaum kolonialis dan imperialis Barat.
“Mereka ingin mengubah stigma negatif menjadi stigma positif dan untuk mendapatkan kesetaraan sosial dengan orang Melayu,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)