YOGYAKARTA – Kanker serviks uteri sampai saat ini menduduki peringkat kedua teratas dalam hasil insidensi dan sebagai penyebab kematian pada perempuan di Indonesia. Infeksi human papillomavirus (HPV) risiko tinggi, hampir dapat dipastikan merupakan penyebab kanker serviks. Meskipun untuk stadium awal, penderita pada umumnya memiliki prognosis yang baik namun sepertiganya akan tetap meninggal akibat menderita penyakit tersebut, baik yang menjalani operasi maupun radioterapi.
Berdasarkan hasil penelitian Kepala Staf Medik Fungsional Divisi Ginekologi Onkologi RS Kanker Dharmasi Jakarta, dr. M. Soemanadi, Sp.OG, terhadap 70 pasien penderita kanker serviks uteri stadium awal yang menjalani terapi histerektomi radikal di RS Kanker Dharmais selama tahun 2000-2006, ditemukan bahwa mereka yang menderita penyakit ini memiliki rerata usia 49 tahun. “Umumnya mereka yang sudah memiliki anak lebih dari tiga dan indeks massa tubuh (IMT) 24 kg/m2. Sebagian besar mereka mengalami anemia dengan kadar haemoglobin dibawah 12 mg/dL,” kata Soemanadi dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Kedokteran UGM, kemarin.
Menurut pria kelahiran Sidoarjo, Jawa timur, 51 tahun lalu ini, salah satu kesimpulan penting yang ditemukan dalam penelitiannya adalah terdapat hubungan antara tingkat stadium penyakit dengan kejadian kekambuhan. Pasien kanker serviks stadium awal dengan pemeriksaan biomolekular, ekspresi p53 (tumor suppressor gene) positif memiliki risiko lebih dari 2 kali untuk terjadi kekambuhan dibandingkan dengan pasien tanpa ekspresi p53. Sementara pasien stadium awal dengan ekspresi hTERT (human telomerase reverse transcriptase) negatif memiliki risiko lebih dari 4 kali untuk terjadi kekambuhan. “Kejadian kekambuhan paling banyak terjadi pada tahun pertama,” ungkapnya.
Namun yang tidak kalah lebih penting, imbuhnya, dia menyarankan perlu digalakkan program nasional yang terintegrasi dan berkesinambungan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah dalam upaya pencegahan kanker serviks. “Rutin menggelar vaksinasi kanker serviks dan deteksi dini pap smear,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)