Bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi tentunya menjadi impian semua siswa. Demikian halnya Weni Tri Arfiyani (18), anak dari keluarga penjual geblek, berhasil mewujudkan mimpiannya kuliah di Universitas Gadjah Mada. Kendati terlahir dari keluarga yang kurang mampu, berkat hasil kerja kerasnya dalam belajar akhirnya ia pun diterima kuliah tanpa dikenai pungutan biaya hingga selesai.
“Rasanya melihat kondisi keluarga, saya tidak kebayang akhirnya bisa kuliah. Apalagi tanpa harus membebani orang tua,” kata Weni yang diterima di Jurusan Ilmu Komunikasi saat ditemui di rumahnya Desa Kajoran, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, baru-baru ini.
Awalnya gadis berperawakan mungil ini merasa ragu bisa mewujudkan mimpinya itu. Pasalnya penghasilan sang ayah, Bambang Suripno (51), sebagai sopir panggilan tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-harinya, apalagi untuk membiayai kuliah. Dalam sebulan belum tentu mendapatkan panggilan untuk menyupir, bahkan pernah hingga dua bulan menganggur. Sementara ibunya, Liswidyawati (49), sehari-hari bekerja sebagai pembuat kue pesanan para tetangga. Jika kondisi sepi pesanan, ia berjualan geblek dan gorengan di pasar depan rumahnya yang terletak di lereng kaki Gunung Sumbing.
Hati anak bungsu dari tiga bersaudara ini semakin miris mengingat perkataan ayahnya yang tidak akan pernah bisa menguliahkan anak-anaknya. Kedua kakaknya pun yang kini sudah berkeluarga hanya mampu mengenyam pendidikan hingga jenjang SMA.
“Ingin bisa lebih dari kakak-kakak saya. Saya yakin dengan kuliah nantinya kehidupan kami bisa lebih baik dari saat ini,” kata Weni yang bercita-cita menjadi jurnalis.
Saat ini Weni dan kedua orang tuanya tinggal di sebuah rumah sederhana milik sang nenek. Sejak tahun 2005 silam mereka menumpang tinggal di sana menunggui sang nenek yang sudah renta. Sebelumnya selama 21 tahun mereka hidup menumpang di rumah Mantri Kesehatan setempat.
“Dari lahir sampai sekarang masih numpang tinggal di rumah orang lain. Semoga suatu saat nanti bisa membelikan rumah untuk bapak dan ibu,” ujar gadis berjilbab ini.
Sementara Bambang mengungkapkan keinginan berkuliah putrinya itu sudah muncul sejak SMP. Walapun hidup dalam keadaan pas-pasan, sekalipun ia tidak pernah melarang anak-anaknya melanjutkan kuliah.
“Tapi selalu saya tekankan kalau kuliah membutuhkan biaya besar dan bapak tidak mampu menyediakan uang sebanyak itu. Jadi kalau mau kuliah ya harus cari beasiswa,” kata Bambang.
Kebahagian luar biasa dirasakan Bambang dan Liswidyawati ketika mengetahui anaknya diterima kuliah gratis di UGM. Mereka tidak bisa berbuat banyak untuk Weni, kecuali memberikan dukungan doa untuk kesuksesannya.
“Dengan beasiswa ini semoga nantinya kebutuhan saat kuliah bisa tercukupi. Saat sekolah dulu Weni sering puasa, prihatin, karena kami tidak bisa memberikan uang saku hanya bisa kasih uang untuk naik bis ke sekolah saja,” kata Bambang dengan pandangan berkaca-kaca.
“Kami hanya bisa merestui dan mendoakan. Semoga apa yang dicita-citakan ingin mengangkat derajat orang tua bisa terlaksana,” timpal Liswidyawati sambil menitikkan air mata.
Weni termasuk siswa dengan otak cemerlang di sekolahnya. Dirinya selalu masuk dalam rangking tiga besar dari SD hingga SMA. Brebekal prestasinya itu ia memperoleh beasiswa selama bersekolah di bangku SMP dan SMA. Ia mengaku tidak memiliki kiat khusus dalam belajar sehingga bisa terus berprestasi. Hanya saja setiap harinya ia selalu mengalokasikan waktu untuk belajar.
“Sehari-hari belajar maksimal 3 jam tapi efektif. Jadi tidak diforsir belajar terus malah akan kelelahan,” jelas alumnus SMA 1 Magelang ini. (Humas UGM/Ika)