Lima mahasiswa Program Studi ELINS Fakultas MIPA UGM mengembangkan alat penimbang barang digital untuk tunanetra. Alat yang diberi nama Rancang Bangun Timbangan Suara untuk Tunanetra atau Rama Shinta ini secara otomatis bisa menghasilkan suara ketika berat barang telah terukur.
Ary Kusuma Ningsih, Arif Abdul Aziz, Laely Nurbaety, Luthfi Yahya, dan Dwitya Bagus Widyantara tergerak mengembangkan timbangan bersuara untuk memudahkan penyandang tunanetra dalam berwirausaha. Selain itu juga untuk meminimalisasi terjadinya praktik kecurangan saat bertransaksi jual beli.
“Umumnya para tunanetra merasa kesulitan dalam mendapat informasi yang akurat mengenai berat barang saat jual beli sehingga rawan terjadi penipuan karena keterbatasan mereka,” kata Ary, Senin (11/8) saat bincang-bincang dengan wartawan di Ruang Fortakgama UGM.
Timbangan dilengkapi dengan mikrokontroller arduino uno, empat sensor load cell, buzzer, modul suara, dan spiker. Selain itu terdapat keypad dengan huruf braille.
“Selain menghasilkan suara, timbangan juga dilengkapi dengan dengan LCDGraphic 16×2 sehingga hasil pengukuran juga akan nampak pada layar,” jelasnya.
Ary menyampaikan sistem mekanik dari timbangan ini berupa meja timbangan yang pada masing-masing kaki meja diletakkan sensor load cell. Meja timbangan ditutup rangka berbentuk balok dengan dimensi 55x40x21 cm. Sementara sisi depan timbangan dirancang dengan kemiringan 45′ untuk penempatan LCD, keypad serta tombol pilihan mode. Sedangkan speaker ditempatkan di bagian belakang alat.
“Alat ini memakai power dari adaptor untuk bisa beroperasi,” terang Ary.
Lebih lanjut dikatakan Ary, timbangan yang mereka kembangkan memiliki kapasitas timbang hingga 30 kilogram. Namun dalam aplikasinya hanya dibatasi untuk mengukur hingga berat 10 kilogram saja.
“Sebenarnya kemampuan sensornya bisa sampai 30 kg, tapi untuk aman dan keakuratannya kita batasi sampai 10 kg saja,” ujarnya.
Rama Shinta memiliki dua mode pengukuran berat. Pertama, untuk mengukur berat benda yang akan ditimbang dengan meletakkan barang di atas meja timbangan. Hasil pengukuran akan tampak pada layar LCD dan menghasilkan suara.
Kedua, untuk mengukur berat benda sesuai dengan berat yang diinginkan pengguna. Untuk mode ini, sebelumnya pengguna perlu mengatur berat beban yang diinginkan dengan memasukkan angka menggunakan keypad. Apabila berat yang diinginkan telah terpenuhi maka timbangan akan mengeluarkan bunyi buzzer “beep” panjang. Sementara berat yang diinginkan belum tercapai maka akan terdengan bunyi “beep” singkat.
Pengembangan timbangan bersuara ini bukannya tanpa kendala. Awalnya mereka merasa kesulitan saat menyesuaikan berat timbangan degan suara yang dikeluarkan.
“Sempat kesusahan membuat program untuk mengkonversikan berat ke suara. Tapi akhirnya bisa dengan modul suara,” kata Arif menambahkan.
Timbangan bersuara yang dikembangkan lima sekawan ini lahir dari Program Kreativitas Mahasiswa Karya Cipta (PKM-KC) 2014. Untuk riset dan pengembangan alat mereka menghabiskan biaya setidaknya Rp. 10 juta.
Saat ini, Arif dan keempat rekannya belum memproduksi timbangan bersuara dalam jumlah besar. Namun kedepan tidak tertutup kemungkinan untuk mengembangkan dalam skala masal. Pasalnya sudah terdapat sejumlah permintaan dari para penyandang cacat yang berwirausaha berminat terhadap alat ini.
“Misal nantinya dipasarkan 1 timbangan suara harganya sekitar Rp. 3-4 juta. Kalau timbangan barang biasa, harganya antara Rp. 2-3 juta,” tuturnya.
Timbangan bersuara merupakan inovasi teknologi yang diharapkan mampu mempermudah penyandang tunanetra dalam berdagang. Tak hanya dapat membantu tnanetra, alat ini juga berhasil menghantarkan kelima mahasiswa muda ini melaju ke Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-27 yang akan dihelat di Universitas Diponegoro, Semarang pada 25-28 Agustus 2014. (Humas UGM/Ika)