YOGYAKARTA – Dosen Teknik Kimia, Fakultas Teknik UGM, Ir. Imam Prasetyo, M.Eng., Ph.D., berhasil mengembangkan teknologi penyimpanan gas sistem cartridge (tukar pasang) dengan adsorpsi gas lewat karbon berpori. Riset teknologi tepat guna dari ‘kampus biru’ diharapkan mampu menjadi solusi untuk menjawab tantangan penerapan kebijakan konversi BBM ke BBG di Indonesia di masa mendatang. Soalnya penerapan konversi BBG pada kendaraan saat ini mengalami hambatan. Salah satunya adalah kekhawatiran masyarakat terhadap risiko apabila terjadi ledakan dan mahal biaya kompresi BBG.
Seperti diketahui, BBG dalam tabung penyimpanan konvensional memiliki tekanan hingga 200 bar. Tekanan gas yang begitu besar tersebut selain memberatkan kendaraan, berisiko sewaktu-waktu meledak apabila kualitas tabung kurang bagus. “Kondisi lalu lintas di Indonesia dengan membawa tangki dengan tekanan 200 bar sangat berisiko. Di samping tadi itu, tangkinya menjadi berat karena bahannya lebih tebal,” ungkap Imam saat di temui di Fakultas Teknik UGM, Kamis (4/9).
Dosen Teknik Kimia UGM ini berhasil mengembangkan inovasi penyimpanan tabung BBG dengan sistem karbon berpori. Dia mengklaim, selain harganya yang lebih murah, aman, produk inovatif ini tidak perlu menggunakan bahan tabung yang lebih tebal bahkan diameter tabung relatif lebih kecil. Kerena lebih kecil, penempatannya sangat fleksibel untuk ditempatkan pada kendaraan. “Tangkinya bisa dari bahan Stainless Steel, intinya dengan sistem ini, tangki BBG tekanannya lebih rendah, bahan lebih tipis, lebih murah, dari sisi kemanan jauh lebih baik. Kemudian, biaya kompresi juga lebih rendah,” kata pria yang lahir di Temangguing 42 tahun lalu ini.
Menurunkan Tekanan Gas
Teknologi Adsorbed Natural Gas (ANG) yang dikembangkan Imam ini, salah satu keunggulannnya adalah kemampuan mengurangi tekanan gas pada tangki BBG hingga ratusan bar. Merunut dari penjelasan Imam, gas pada tangki BBG yang dibuatnya terikat oleh karbon berpori yang dimasukkan ke dalam dasar tabung. Bahan karbon berpori tersebut terbuat dari polimer yang dipirolisis (pemanasan tanpa udara). Polimer yang berukuran nanometer ini, kata Imam, bisa menyesuaikan ukuran gas yang akan disimpan dengan cara mengatur komposisi polimer. “Jaringan pori berbahan polimer ini berukuran nanometer sehingga bisa menyerap dan mengakumulasikan molekul gas di dalamnya,” paparnya.
Penelitian yang sudah berlangsung lebih dari 3 tahun ini menurut Imam awalnya mengalami kendala karena sulitnya membuat polimer dan karbon yang sesuai dibutuhkan. Namun meski karbon dari alam tersedia cukup banyak tapi akhirnya Imam memilih karbon dari bahan polimer. “Hanya saja jika dibuat dari polimer, saya bisa mendesain ukuran porinya dan banyaknya porinya. Apabila menggunakan bahan alami, karakteristiknya tidak bisa diubah,” terangnya.
Apa keunggulan banyaknya pori dengan tekanan gas? Imam memulainya dengan menjelaskan perbedaan antara gas dan cairan yang ditentukan pada jarak molekul. Jarak molekul gas lebih renggang, sementara cairan jarak molekulnya lebih rapat. Apabila gas mendapat tekanan, maka jarak antar molekulnya makin mendekat, lalu saling menempel hingga menjadi cairan dengan cara dikompresi lewat tekanan tinggi. Nah, dengan menggunakan material berpori, molekul gas alam masuk mengisi pori-pori seperti termampatkan. Bedanya, molekul yang masuk ke pori-pori tersebut dalam ukuran nano. Efeknya seperti terkompresi sehingga tekanan gas jadi menurun. “Hasil inovasi saya, bisa menyimpan gas dengan sejumlah yang sama tapi dengan tekanan yag rendah. Karena terkadi efek pemampatan akibat pori-pori tadi,” paparnya seraya mengibaratkan satu gram karbon berpori memiliki total luas pori-pori seukuran luas lapangan sepakbola.
Kendati belum mengujinya dengan ditabrak atau dibakar pada kendaraan, Imam yakin produk ANG ini terbilang aman dari bahaya ledakan karena tabung BBG hanya membutuhkan tekanan 30-40 bar. Sementara tabung kendaraan berbahan bakar gas yang ada saat ini umum tekanan gasnya capai 200-250 bar. “Karbon yanga da di tabung BBG ini mampu menyimpan sejumlah metana yang sama pada tekanan 30-40 bar yang jauh lebih rendah daripada penyimpanan ekonomis metana di CNG yang mencapai 200-250 bar,” ungkapnya.
Saat disinggung dengan seringnya bus Transjakarta yang sudah menggunakan BBG sering mengalami ledakan saat tengah beroperasi, menurut Imam besar kemungkinan akibat tekanan gas pada tabung BBG. “Saya kira dikarenakan tekanan gas terlalu tinggi dan kualitas tabungnya yang rendah,” ujarnya.
Sistem Cartridge
Tabung BBG yang kini dikembangkan oleh Imam menggunakan sistem cartridge atau bisa tukar pasang. Apabila nantinya bisa diproduksi massal, Imam mengatakan masyarakat tidak harus antri di stasiun pengisian bahan bakar gas atau SPBG. Melainkan bisa membelinya seperti membeli tabung gas LPG. “Tabung sangat fleksibel, sangat memungkin mendukung konversi BBM ke BBG, hanya persyaratannya gas tidak boleh mengandung uap air. Jika mengandung uap air akan menutupi karbon,” tegasnya.
Seperti diketahui, hasil penelitian Imam ini tengah diuji untuk dipasang pada kendaraan yang kini tengah dilakukan oleh PT. Barata Indonesia, perusahaan BUMN yang bergerak di bidang konstruksi, alat berat, dan pengecoran. Setelah sebelumnya, hasil riset Imam Prasetyo ini diapresiasi langsung oleh Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan saat menengok langsung penelitiannya ini di kampus UGM. Dalam kesempatan itu, Dahlan menilai hasil riset dari UGM ini akan digunakan sebagai penurun tekanan gas pada tabung BBG. Dengan begitu, alat ini bisa dimanfaatkan sebagai pengganti BBM pada kendaraan dan perusahaan listrik Negara. “Saya kira ini pengganti solusi bensin, karena mahalnya tabung BBG, dan ketakutan masyarakat karena risiko ledakan,” katanya.
Dahlan menegaskan apabila teknologi ANG ini bisa menurunkan tekanan gas BBG yang sebelumnya rata-rata mencapai 200- 300 bar. Apabila bisa diturunkan lagi menjadi 18 atau 20 bar menurutnya hasil riset ini jadi solusi terbaik bagi Indonesia dalam mencari jalan keluar terkait persoalan menipisnya pasokan BBM. “Kita ini masih dalam penjajahan BBM, masih bergantung impor, tidak tahu cara mengatasinya. Jika ada konversi ke gas, ini solusi terbaik. Minimal ada ujicoba tahap awal. Kita coba nantinya dibakar atau ditabrak. Jika ini berhasil, tidak hanya untuk kendaraan tapi juga untuk pembangkit listrik,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)