Tantangan peradaban yang semakin pesat dengan kemajuan teknologi dan kemakmuran gaya hidup menyebabkan kekhawatiran bagaimana bumi ini mampu memenuhi hajat hidup lebih dari 7 miliar penduduk dunia. Untuk itu penting mengubah pola pikir dengan belajar dari sejarah peristiwa yang pernah terjadi pada masa silam.
Dalam konteks pengembangan wilayah diperlukan falsafah atau wawasan yang memberikan inspirasi bagi praktik pembangunan dan diperlukan pemimpin yang mampu menggerakan dinamika pembangunan menuju cita-cita mulia. Konsep pembaruan yang ditawarkan berakar pada kemanusiaan dan kewilayahan, yaitu tugas manusia sebagai pemimpin di bumi dan kepemimpinan yang membawa berkah dan rahmat bagi semesta.
“Di sini perlu dikembangkan kepemimpinan dengan perspektif spiritual bahwa setiap manusia akan diadili di akhirat nanti atas amal perbuatannya di dunia,” tegas Prof. Dr. Muhammad Baiquni, M.A., pada pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Balai Senat UGM, Kamis (18/9).
Pada pidato pengukuhannya yang berjudul Paradigma Archipelago: Perspektif Geografi Regional Dalam Mengelola Keragaman Wilayah Kepulauan dan Kelautan Indonesia, Baiquni menjelaskan bahwa peradigma Archipelago merupakan cara pandang yang menghargai keragaman ekosistem dan kemajemukan masyarakat yang menempati wilayah kepulauan. Cara pandang ini menurut Baiquni sesuai dengan dalil bahwa “semakin beragam suatu entitas, semakin kuat daya tahan ekosistem”.
“Tiap wilayah punya entitas alam dan budaya dengan kekhasan, keunikan dan keunggulan masing-masing sehingga perlu ditumbuh-kembangkan,” kata staf pengajar di Fakultas Geografi UGM ini.
Beragam kearifan lingkungan yang terbentang di banyak kepulauan dengan keragaman budaya bisa menjadi khazanah ilmu pengetahuan dan pengalaman sebagai solusi untuk mengatasi masalah. Ia mencontohkan di Minangkabau ada kearifan dalam proses belajar kehidupan dengan lingkungan sekitar sebagaimana termaktub dalam istilah “alam tatakambang menjadi guru” dan terkait dengan sistem hukum yang didasarkan pada “adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah”.
Sementara itu di Bali ada kearifan hubungan manusia terkait dengan “trihita Karana-palemahan, pawongan, dan parahyangan”. Di masyarakat Minahasa terdapat kearifan “sitou timou tumou tou” yang inti maknanya adalah memanusiakan manusia.
“Perlu menengok kembali kekuatan spiritual dan kearifan lokal dalam pengembangan wilayah, sebagai upaya menemukan solusi yang dapat dimengerti dan dipahami oleh masyarakat setempat sampai akar rumput,” imbuh Baiquni.
Baiquni yakin dengan konsep di atas bisa memberikan solusi peradaban bagi kerumitan masalah kemiskinan, kesenjangan antarwilayah, hingga degradasi lingkungan dan pemanasan global serta perubahan iklim. (Humas UGM/Satria)