Ketekunan melakukan penelitian terhadap penyakit genetik atau bawaan menghantarkan Dr. Gunadi, Ph.D., dosen Bagian Ilmu Bedah, Divisi Bedah Anak, Fakultas Kedokteran (FK) UGM menyabet penghargaan sebagai peneliti muda terbaik dalam kompetisi Ristek Kalbe Science Award (RSKA) 2014. Penghargaan diraihnya berkat konsistensi menegakkan diagnosis suatu penyakit melalui pendekatan analisis genetik molekular.
Dalam kompetisi itu Gunadi berhasil menyisihkan 44 peneliti muda lainnya dari berbagai lembaga maupun perguruan tinggi di Indonesia. Penghargaan diberikan pada 14 September kemarin di Jakarta. Mengajukan penelitian berjudul “The Importance of Molecular Genetics Analysis for Diagnosis of Diseases”.
Pria yang kini tengah menempuh pendidikan spesialis bedah anak di FK UGM ini dinobatkan sebagai peneliti muda terbaik karena dinilai sebagai peneliti muda yang telah memberikan kontribusi dan berkelanjutan dalam bidang life science dan kesehatan.
“Penghargaan ini diberikan pada peneliti berusia dibawah 40 tahun yang telah memberikan kontribusi positif dalam pengembangan penelitian di bidang life sciences dan kesehatan,” jelas Gunadi, saat ditemui Senin (22/9) di RSUP Dr. Sardjito.
Sejak tahun 2005 silam, tepatnya saat menempuh pendidikan doktor di Kobe University Jepang, Gunadi fokus melakukan penelitian terhadap sejumlah penyakit genetik pada anak dengan menerapkan diagnosis melalui pendekatan analisis genetika molekular. Seperti mengkaji penyakit kelumpuhan otot pad anak (Spinal muscular atrophy), penyakit gangguan perkembangan kulit, rambut, dan kelenjar keringat (Hypohidrotic ectodermal dysplasia), dan epilepsi.
Namun sejak empat tahun terakhir Gunadi fokus meneliti penyakit Hischprung atau Megakolon Kongenital. Merupakan kelainan bawaan yang terjadi karena penyumbatan saluran usus besar yang mengakibatkan pasien kesulitan buang air besar. Hal itu terjadi karena sebagian usus besar tidak mempunyai saraf yang mengendalikan kontraksi otot sehingga peregerakan usus tidak adekuat. Tindakan pembedahan merupakan terapi yang harus dilakukan untuk membuang bagian usus yang tidak memilik persyarafan.
Penyakit ini merupakan salah satu penyakit bawaan yang kerap ditemui pada anak-anak. Dengan gejala mengalami keterlambatan buang air besar pertama saat lahir lebih dari 24 jam, perut kembung. Pada anak dengan usia lebih tua gejala ditandai dengan sulit buang air besar, perut kembung, infeksi usus, dan gagal tumbuh.
Dalam populasi dunia angka kejadian penyakit ini mencapai rasio 1:5.000. Bahkan tingkat kejadian terjadi lebih tinggi terjadi di Asia dengan rasio 1:3.500 orang setiap tahunnya.
“Dari penelitian yang kami lakukan sejak 2010 silam diketahui bahwa terdapat peranan faktor genetik dalam kejadian penyakit megakolon kongenital ini. Sehingga tingkat kejadiannya akan berbeda-beda di setiap negara,” urai pria kelahiran Banyuwangi 34 tahun lalu ini.
Dari 60 pasien penderita hischprung berusia di bawah 18 tahun yang berobat di RSUP Dr. Sardjito diketahui bahwa terdapat peranan gen RET dan NRG1 Polymerfisme sebagai faktor risiko pembawa kemunculan penyakit hischprung pada anak.
Gunadi menyampaikan bahwa penyakit genetik merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak pada bayi berusia kurang dari satu tahun. Hanya saja penyakit bawaan ini di Indonesia masih sering diabaikan. Tidak sedikit pasien datang ke rumah sakit dalam tingkat keparahan tinggi . Padahal penyakit ini bisa dideteksi sejak awal, bahkan saat berada dalam kandungan. Sehingga penting dilakukan sosialisasi pada tenaga kesehatan dan masyarakat akan pentingnya deteksi dini terhadap penyakit bawaan ini.
“Dengan pendekatan diagnosis penyakit melalui analisis genetik molekular harapannya penyakit bisa terdeteksi sejak awal sehingga bisa memberikan intervensi lebih dini. Dengan begitu angka kesakitan dan kematian anak bisa diturunkan secara signifikan,”paparnya.
Karenanya ia berharap pendekatan tersebut bisa menjadi bagian dari pelayanan kesehatan rutin bagi masyarakat. Pasalnya selama ini hal tersebut belum masuk ke dalam pemeriksaan kesehatan rutin.
“Pemeriksaan darah masih terjangkau untuk masyarakat. Namun untuk pemeriksaan lebih lanjut seperti tes DNA butuh biaya besar. Jadi harapannya nantinya pemeriksaan genetika molekular bisa di-cover oleh BPJS Kesehatan,” tegasnya. (Humas UGM/Ika)