Dalam kesederhanaannya, masyarakat Fakfak mampu menawarkan banyak spirit kehidupan yang layak untuk dipelajari sebagai gagasan intelektual yang mencerahkan. Masyarakat Fakfak ternyata bukanlah obyek yang diam, yang hanya menerima dengan pasrah hegemoni kekuasaan dan penetrasi berbagai pengaruh dari luar. Bahkan dalam kesederhanaannya, masyarakat Fakfak merupakan masyarakat yang dinamis dan memiliki kearifan-kearifan kultural yang bila dimanfaatkan secara bijaksana akan sangat bermanfaat bagi proses penyelesaian berbagai masalah sosial politik di Papua.
“Sejak awal saya pun menyadari bahwa menulis tentang perdamaian di Papua, merupakan sebuah pilihan yang sulit, sebab harus melawan opini dominan yang telah memandang Papua sebagai wilayah penuh konflik. Banyak peneliti dan dunia akademik yang terjebak pada diskursus konflik tersebut, sehingga dalam banyak hal membuat kita justru kehilangan kesempatan untuk mempelajari aspek-aspek sosial budaya di Papua yang bisa menjadi modal dalam pembangunan perdamaian. Disertasi ini menawarkan sebuah perspektif baru untuk melihat lebih dekat wilayah lain dari Papua yang selama ini belum banyak diketahui publik”, ucap Saidin Ernas, Rabu (22/10) saat menjalani ujian terbuka S3 Prodi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM.
Dikatakan Saidin Ernas, situasi harmonis di Fakfak dan sekitarnya memperlihatkan terdapat dinamika konflik dan integrasi yang terjadi secara berbeda pada setiap wilayah di Papua. Bahwa Papua bukanlah sebuah entitas sosial politik yang tunggal, sebab selain masyarakat yang semakin beragam, setiap wilayah memiliki masalah dan konteks sosialnya sendiri.
Pada kasus masyarakat Fakfak, dijelaskannnya, integrasi sosial dapat berjalan dengan baik karena ada berbagai faktor yang mendukungnya. Integrasi sosial dibangun secara kultural diatas kesadaran dan inisatif lokal, sehingga memiliki makna dan kekuatan dari dalam untuk merawat keragaman, baik agama, etnis maupun perbedaan kepentingan politik dan ekonomi. Hal ini berbeda dengan konsepsi integrasi sosial yang selama ini dipahami dan dipratikkan selama kurun waktu kekuasaan Orde Baru (1971-1998).
“Bahwa keragaman di dalam masyarakat selalu dipersepsikan sebagai sumber konflik yang mesti ditangani dengan cara-cara yang hegemonik, yaitu memaksakan penyeragaman dan penyederhanaan identitas nasional sebagai sesuatu yang tunggal”, jelas dosen IAIN Ambon.
Mempertahankan disertasi “Integrasi Sosial Masyarakat Papua studi tentang Dinamika Perdamaian pada Masyarakat Fakfak di Propinsi Papua Barat”, Saidin Ernas menandaskan bahwa model integrasi sosial yang dipaksakan melalui berbagai instrumen kekuasaan justru menafikan kemungkinan adanya nilai-nilai tertentu yang mampu mendorong masyarakat untuk mengelola perbedaan dengan cara-cara yang tepat, sehingga melahirkan integrasi dan perdamaian yang otentik dalam masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat diberbagai daerah justru berhasil membangun dan menciptakan perdamaian melalui mekanisme kultural yang dibangun diatas norma-norma, nilai-nilai dan moralitas budaya yang mengikat mereka dalam keseimbangan.
“Sebut saja misalnya tradisi Bela Baja di Pantar Nusa Tenggara Timur yang menjadi pengikat persaudaraan antara umat Islam dan Kristen, atau tradisi Pela Gandong di Maluku Tengah yang membantu proses penyelesaian konflik di Maluku. Demikian juga tradisi Satu Tungku Tiga Batu di Fakfak Papua Barat yang selama ini menjadi dasar bagi persaudaraan kultural yang melintasi batas-batas agama, etnis dan kepentingan politik serta ekonomi,” papar Saidin Ernas. (Humas UGM/ Agung)