Kemampuan literasi atau kemampuan baca-tulis, merupakan kemampuan yang penting dalam proses perkembangan anak sekolah. Kemampuan membaca yang rendah diasosiasikan dengan rendahnya prestasi sekolah, kurangnya kemampuan literasi saat dewasa, serta meningkatnya masalah perilaku dan tingkat putus sekolah.
“Membaca itu merupakan satu keterampilan terpenting dalam budaya modern saat ini. Oleh karena itu stimulasi pencapaian kemampuan literasi mulai dari awal sejak usia prasekolah penting dilakukan,” tutur Lisnawati Ruhaena pada ujian terbuka program doktor Fakultas Psikologi UGM, Senin (3/11) di F. Psikologi.
Dalam disertasinya berjudul “Faktor-Faktor Penentu Kemampuan Literasi Awal Dalam Konteks Keluarga”, Lisna menilai keyakinan literasi holistik orang tua, rutinitas keluarga serta penggunaan teknologi multimedia ternyata tidak menjadi faktor penentu kemampuan literasi awal seorang anak. Selain itu aktivitas literasi di rumah juga belum berfungsi optimal untuk mengembangkan literasi awal anak. Literasi keluarga (family literacy) belum berkembang sedangkan paradigma keluarga sebagai aset atau modal bagi pengembangan potensi literasi awal anak (strength-based approach) belum tercipta.
“Stimulasi pencapaian kemampuan literasi awal anak lebih berfokus pada sekolah daripada rumah,” kata Lisnawati.
Lisnawati menambahkan subjek penelitian ini sebanyak 206 orang tua yang memiliki anak prasekolah usia 5-7 tahun di Surakarta. Menurut Lisna data tentang penggunaan teknologi multimedia, rutinitas keluarga, keyakinan holistik orang tua, dan aktivitas literasi di rumah dikumpulkan dengan empat skala yang diisi oleh ibu sedangkan data kemampuan literasi awal dikumpulkan dengan pengetesan terhadap anak.
“Aktivitas literasi awal anak di rumah juga tidak berperan sebagai mediator antara orang tua dengan kemampuan literasi awal anak prasekolah,” kata staf pengajar di Fakultas Psikologi UGM itu.
Hasil penelitian yang dilakukannya juga terungkap bahwa pemahaman orang tua tentang cara pengembangan literasi awal anak sejak dini di rumah tergolong tinggi. Hanya saja pemahaman ini masih belum mendorong orang tua untuk melakukan aktivitas literasi yang kontekstual seperti bermain dan membaca buku tetapi lebih banyak mengajar langsung. Sementara itu frekuensi penggunaan teknologi multimedia televisi dan komputer berada pada kategori cukup, namun belum banyak digunakan untuk mengembangkan potensi literasi awal.
“Menonton tv yang bersifat pasif menerima rangsang lebih sering dilakukan anak daripada aktivitas interaktif dalam komputer. Namun, rutinitas terkait percakapan lebih sering dilakukan sehingga membuat orang tua lebih banyak memberikan arahan verbal daripada stimulasi,” urai Kepala Program Studi Magister Psikologi Profesi UMS itu.
Di akhir paparan Lisnawati berharap kepada orang tua maupun pendidik untuk menekankan kepada anak bahwa membaca buku dan bermain terkait literasi perlu lebih dimanfaatkan sebagai aktivitas literasi yang memberi pengalaman menyenangkan. Hal tersebut penting dilakukan untuk mengembangkan literasi awal agar permasalahan kurangnya minat dan kebiasaan membaca dan menulis anak dapat diatasi. (Humas UGM/Satria)