Sistem pemberian jaminan kesehatan secara nasional (JKN) telah diberlakukan sejak 1 Januari 2014 lalu. Kendati begitu, masih terdapat sejumlah kendala dalam pelaksanaan menuju universal health coverage (UHC) di tahun 2019. Salah satunya pengintegrasian program JKN jaminan kesehatan daerah (jamkesda) yang telah berjalan di seluruh provinsi ke dalam JKN.
Mantan Sekjen Kementrian Kesehatan RI, dr. Supriyantoro, Sp,P.MARS., menegaskan perlunya dibuat suatu formulasi yang mampu menjawab kebutuhan integrasi jamkesda ke dalam JKN. Formulasi yang selama ini telah diarahkan pada sentralisasi pembiayaan kesehatan melalui program JKN harus diimbangi dengan pemberian celah ruang fleksibilitas bagi daerah untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan secara dinamis. “Isu pergeseran kewenangan kebijakan dari daerah ke pusat menjadi persoalan krusial sehingga perlu disusun formulasi kebijakan integrasi sentralisasi dinamis,” jelasnya Selasa (26/11) saat jumpa pers usai melangsungkan ujian promosi doktor di Fakultas Kedokteran UGM . Dalam kesempatan itu ia berhasil meraih gelar doktor dengan predikat cum laude usai mengajukan disertasi berjudul “Formulasi Kebijakan Integrasi Jaminan Kesehatan Daerah ke Sistem Kesehatan Nasional Menuju Ubniversal Health Coverage”.
Sentralisasi tersebut, paparnya lagi, merupakan upaya integrasi kebijakan jamkesda ke dalam JKN yang dilakukan dengan mengalihkan tanggung jawab daerah dalam hal perencanaan, pembiayaan, dan manajemen kesehatan publik dari pemerintah daerah ke unit pemerintah pusat. Dilakukan secara dinamis dengan memberikan peluang bagi daerah dalampengambilan keputusan trekait JKN. “Konsep sentralisasi dinamis memberikan peluang yang lebih besar kepada daerah dalam sentralisasi kebijakan integrasi jamkesda,” ujarnya.
Supriyantoro menyebutkan dalam konsep sentralisasi dinamis yang digagasnya semua kegiatan pengelolaan, pengendalian, dan pembiayaan dilakuan terpusat, tetapi indikator ke tiga hal tersebut telah disepakati sebelumnya dengan daerah yang terintegrasi. Selain itu paket manfaat bisa disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan mengoptimalkan manfaat promotif pereventif. Sementara dalam penentuan penerima bantuan iuran (PBI) dan tarif dilakukan secara dinamis dengan melibatkan daerah. Namun penentuan tetap mengacu pada standar nasional dan regulasi lain yang ada.
Dari penelitian yang dilakukan di 33 provinsi Indonesia diketahui umumnya penyelenggaraan jamkesda diselenggarakan oleh daerah (35%), kemudian dikelola oleh PT. Askes atau pihak ke tiga (33,8%), dan gabungan pemerintah daerah dengan PT. Askes (1,7%). Adanya perubahan PT. Askes menjadi BPJS per 1 Januari 2014 kemarin, menurutnya akan memudahkan proses integrasi ke JKN apabila memiliki kemampuan fiskal daerah yang mencukupi.
Sementara itu, terkait pola pembiayaan terdapat 14 provinsi (42,42%) yang besaran pembiayaan masih ditanggung sepenuhnya oleh daerah masing-masing. Hanya 1 provinsi (3,03%) yang seluruh pembiayaan ditanggung oleh provinsi. Selain itu terdapat perbedaan kemampuan cost sharing setiap daerah, terdapat 6 provinsi (18,18%) yang porsi cost sharing lebih besar ditanggung provinsi daripada daerah/kota, lalu porsi lebih kecil ditanggung provinsi sebanyak 8 provinsi (24,24%), sisanya 4 provinsi (12,12%) membagi porsi jumlah cost sharing secara berimbang antara provionsi dengan kabupaten/kota.
“Terdapat potensi perbedaan kepentingan antara provinsi dan daerah saat pengintegrasian jamkesda,” tutur pria kelahiran Pringsewu, Lampung, 11 Agustus 1954 ini.
Mengenai paket manfaat yang akan diberikan usai integrasi, Supriyantoro mengatakan bahwa pemberian paket harus mampu mengenali karakteristik di setiap masing-masing provinsi sehingga dapat meminimalisir adanya perbedaan manfaat. Pasalnya, paket standar yang saat ini dijamin dalam program JKN belum memberikan ruang bagi daerah yang mampu untuk memberikan manfaat tambahan. “Ada 15 provinsi (45,45%) yang mengatur sendiri manfaat yang diperoleh melalui peraturan daerah,” ujarnya.
Temuan lain menunjukkan dari 86.4000.000 penerima jamkesmas, masih terdapat 2.558.490 peserta usulan daerah dari 251 kabupaten/kota di 31 provinsi yang tidak tepat sasaran. Hal ini terjadi karena penetapan peserta dilakukan secara sentralistik dan kurang memberi kewenangan daerah untuk menetapkan masyarakatnya sebagai penerima bantuan iuran. Tidak hanya itu, besaran iuran PBI JKN yang lebih tinggi dari iuran jamkesda disisi lain menambah beban bagi daerah, terutama dengan kapasitas fiskal sedang dan rendah saat integrasi ke JKN. Daerah harus mengalokasikan anggar lebih besar yaitu Rp. 19.225,- per peserta,” urainya. (Humas UGM/Ika)