Kemajuan dan percepatan pembangunan di Provinsi Gorontalo berimplikasi pada perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan terhadap lahan, baik untuk pembangunan fasilitas perkantoran pemerintah dan swasta maupun perumahan. Kepadatan yang terjadi di kawasan pusat perkotaan Lama bercampur dengan fasilitas kota lainnya seperti perkantoran, fasilitas perdagangan, hotel, rumah makan, dan beberapa aktivitas swasta yang mulai tumbuh telah menyebar membentuk aktivitas perekonomian baru.
Aspek lainnya, Kota Gorontalo dihadapkan pada keunikan lokal berupa limitasi ilmiah, yaitu lahan pertanian basah (sawah) dengan irigasi teknis yang berada di tengah dan pinggiran kota. Sementara itu, kondisi topografi sebagian besar wilayah Kota Gorontalo merupakan daerah cekungan dan berada di pertemuan dua muara sungai sehingga berpotensi banjir atau menggenang. Sedangkan tingkat kerawanan bencana gempa yang sering terjadi di Gorontalo merupakan alasan dan kendala masyarakat dalam melakukan pengembangan pembangunan secara vertikal.
Kepala Bidang Penataan Ruang, Dinas PU Provinsi Gorontalo, Wahyudin Athar Katili, SSTP., MT, mengungkapkan kebutuhan ruang yang makin tinggi dibanding ketersediaan lahan dan terjadinya pemusatan kegiatan di Kota Gorontalo sebagai konsekuensi ibukota provinsi yang membutuhkan ruang untuk pemukiman, perkembangan sektor perdagangan dan jasa serta bentuk perkembangan sektor investasi lainnya merupakan kecenderungan yang terjadi di Kota Gorontalo antara tahun 2000 hingga 2010. Meski begitu pemerintah daerah tetap mengalokasikan ruang sarana prasarana maupun utilitas pendukung ibukota provinsi, walaupun kondisi Kota Gorontalo dengan hinterlandnya memiliki keterbatasan alamiah.
“Ukuran kota yang relatif kecil, dengan kondisi topografi yang berbukit di sisi selatan dan membentuk cekungan di bagian tengah serta merupakan pertemuan tiga muara sungai besar merupakan wujud dari keterbatasan fisik alamiah Kota Gorontalo. Sementara budaya masyarakat, yaitu budaya agropolitan, perubahan perilaku konsumtif cenderung menjadi keharusan bagi keluarga baru membangun rumah sendiri, serta menghindari membangun vertikal. Itulah contoh perilaku masyarakat yang menjadi fakta yang ikut bekerja sekaligus sebagai faktor pembeda dari penelitian-penelitian di lokasi lain,” ujarnya, di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM, Senin (22/12) saat menjalani ujian terbuka guna mendapat gelar doktor Bidang Ilmu Geografi.
Berdasar data analisis overlay peta perkembangan lahan terbangun, Wahyudin Athar menjelaskan periode 2001-2005 total perubahan lahan terbangun sebesar 19,86 hektar dan pada periode 2005-2009 total perubahan lahan terbangun meningkat lagi menjadi 75,04 hektar. Dengan data tersebut diasumsikan peningkatan jumlah lahan terbangun pada periode lima tahun pertama sebesar 0,47 persen per tahun dan periode lima tahun kedua sebesat 1,73 persen per tahun.
“Periode tahun 2001 – 2005 merupakan periode awal yang masih lebih besar di gerakkan dan diintervensi oleh pemerintah daerah. Salah satu sudut tinjau dari faktor internal berupa peningkatan alokasi anggaran hingga 52,33 persen per tahun pada APBD. Sedangkan periode 2005 – 2009 merupakan periode yang mulai menurun alokasi anggaran pemerintah sebesar 19,40 persen per tahun,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Wahyudin, arah pengendalian perkembangan Kota Gorontalo dapat dilakukan melalui kebijakan internal dan eksternal. Pengembangan secara internal melalui perlindungan dan penambahan alokasi ruang terbuka, program penyiapan lahan sejak dini, arahan pengembangan bangunan gedung pemerintah, swasta dan masyarakat dengan memberlakukan sistem insentif dan disinsentif.
Sementara itu, kebijakan pengendalian keluar meliputi penyiapan infrastruktur terkait aksesbilitas kawasan pengembangan, arahan kerjasama dengan wilayah hinterland kota sebagai pusat pertumbuhan baru, serta pembatasan ijin untuk pengembangan perumahan di dalam kota. “Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari penelitian ini baik untuk pemerintah maupun masyarakat adalah diperlukan penelitian lanjutan dengan mencermati keterbatasan alamiah Kota Gorontalo guna kemungkinan pengembangan bangunan secara vertikal,” ungkap Wahyudin Athar Katili saat mempertahankan desertasi berjudul “Model Perkembangan Fisik Kota Kasus Kota Gorontalo Tahun 2000 – 2010”. (Humas UGM/ Agung).