Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia. Dari 18 juta hektare luas mangrove di dunia, sekitar 4,25 juta hektar tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Kendati begitu, luasan hutan mangrove terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hingga tahun 2010 tercatat total luasan hutan mangrove menyusut menjadi 3,7 juta hektar akibat eksploitasi dan konversi lahan.
Upaya konservasi mangrove telah dilakukan melalui rehabilitasi atau penanaman mangrove kembali. Langkah rehabilitasi berhasil di lakukan di sejumlah kawasan, akan tetapi di sebagian lainnya mengalami kegagalan.
“Ketidakberhasilan penanaman sebagian besar disebabkan oleh sistem silvikultur yang kurang diterapkan dengan baik, mulai dari pemilihan lokasi,pembibitan, hingga pola penanaman dan pemeliharaan,” jelas Prof. Dr. Erny Poedjirahajoe, M.P., saat menyampaikan pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Fakultas Kehutanan, Rabu (31/12) di Balai Senat UGM.
Erny mengatakan bahwa selama ini dalam pemilihan lokasi penanaman sering mengabaikan persyaratan hidup mangrove. Hal ini disebabkan masyarakat pelestari mangrove belum sepenuhnya memahami habitat mangrove. Oleh sebab itu, ia menekankan pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat akan arti konservasi mangrove, terutama yang bermukim di sekitar mangrove.
Sementara dalam hal penanaman, masalah yang kerap muncul adalah pada penggunaan jarak tanam dan lebar jalur hijau. Jarak tanam mangrove menurutnya harus disesuaikan dengan kecepatan gelombang. Walapun mangrove hidup pada arus gelombang kecil, arus tersebut masih sangat berpengaruh terhadap kemampuan semai untuk bertahan dari kekuatan arus meskipun sudah diikat dengan ajir.
“Mestinya pada arus gelombang yang agak tinggi penanaman menggunakan jarak rapat 1×1 meter. Sebaliknya jika arus gelombang kecil, maka jarak tanam yang digunakan 2×1 meter,” urai Erny yang fokus mendalami kajian Ekologi Hutan ini.
Lebih lanjut Erny menyampaikan pola penanaman mangrove secara ekologis sering kali menyalahi aturan. Hal ini terlihat dari penanaman mangrove yang dilakukan di pematang-pematang tambak atau di tepi sungai. Dengan pola penanaman tersebut mangrove menjadi tidak berfungsi sebagai penghalau gelombang, penahan abrasi dan intrusi.
“Fungsi tersebut terjadi jika mangrove berupa hamparan luas yang menghadap ke arah laut,” katanya.
Namun dengan pola penanaman yang tidak sesuai aturan semakin mempersulit untuk menumbuhkan kembali mangrove yang rusak. Karenanya Erny menegaskan dalam penanaman kembali mangrove seharusnya mengikuti kaidah-kaidah silvikultur yang telah ditetapkan melaui peraturan perundangan. Disamping itu, ia juga menyarankan untuk melakukan pengembangan ekowisata yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove. Dengan demikian diharapkan upaya konservasi hutan mangrove dapat mencapai hasil optimal. (Humas UGM/Ika)