Penelitian epidemiologis menunjukkan akhir-akhir ini di negara-negara industri prevalensi Dermatitis Atopik (DA) atau eksim meningkat cukup tinggi yaitu 2 sampai 3 kali lipat dalam 3 dekade terakhir, sehingga saat ini prevalensinya 15-30% pada anak-anak dan 2-10% pada dewasa. DA adalah penyakit kulit kronik, inflamatif dan kambuh-kambuhan, yang ditandai dengan gatal dan ruam kulit. Penyakit kulit ini pada umumnya merupakan manifestasi awal dari suatu pola penyakit alergi yang disebut dengan atomic march.
“Dermatitis Atopik ini menimbulkan masalah fisik, psikologis dan psikososial pada anak penderita DA maupun keluarganya. Gangguan DA terhadap kualitas hidup lebih besar atau setara dengan asma dan diabetes,” papar Niken Trisnowati dalam ujian terbuka program doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM, Kamis (8/1).
Pada kesempatan tersebut Niken mempertahankan disertasinya berjudul “Hubungan Antara Mutasi Gena Filaggrin Dengan Dermatitis Atopik (Kajian Mutasi Gen Filaggrin Tipe Asia di Suku Jawa)”. Penelitian Niken ini melibatkan pasien DA dari Suku Jawa yang datang di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Sardjito pada Januari 2012 – Desember 2013.
Niken menambahkan awalnya DA diperkirakan terjadi akibat efek genetik respon imunologis yang menyebabkan terjadinya peningkatan sensitisasi yang dimediasi immunoglobulin E (IgE), akan tetapi kemudian timbul dugaan bahwa DA dipengaruhi faktor lain, yaitu faktor lingkungan.
“Ini berdasar data bahwa peningkatan prevalensi DA terjadi seiring perubahan gaya hidup yang menyebabkan peningkatan paparan bahan iritan dan allergen dari lingkungan,” papar dosen di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran UGM itu.
Ia menjelaskan bahan iritan dan allergen diketahui dapat merusak kulit. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan sawar kulit merupakan hal penting dalam terjadinya DA. Sementara itu munculnya filaggrin tahun 2006 diketahui sebagai salah satu komponen sawar kulit dalam pathogenesis DA. Gangguan filaggrin ini disebabkan karena mutasi gen penyandi fillagrin atau FLG. Penelitian tentang mutasi FLG di beberapa negara di Eropa dan Asia telah mendapatkan sekitar 40 mutasi, yang seluruhnya merupakan mutasi loss of function.
“Sampai saat ini hubungan mutasi gena FLG pada individu dengan DA di Indonesia belum pernah diteliti,” imbuh perempuan kelahiran Yogyakarta, 7 Desember 1970 ini.
Pada ujian ini bertindak selaku promotor Prof. Dr. dr. Hardyanto Soebono, Sp.KK(K) dan ko promotor dr. Ahmad Hamim Sadewa, Ph.D. Tim penguji terdiri dari Prof. dr. Sofia Mubarika, M.Med.Sc., Ph.D., Prof. dr. Mohammad Hakimi, Sp.OG(K),Ph.D., Dr.dr. Sunardi Radiono, Sp.KK(K)., dr. Rina Susilowati, Ph.D., Dr. Med.dr. Indwiani Astuti serta Prof. Dr.dr. Endang Sutedja, Sp.KK(K). (Humas UGM/Satria-Agung)