Ditengah kondisi kelestarian hutan Indonesia yang memprihatinkan, muncul inspiratif pemikiran inovatif dari Vandana Shiva dan Karen J. Warren yang mengembangkan visi ekofeminis. Visi ekofeminis bertujuan untuk mewujudkan keadilan gender dan kelestarian lingkungan.
Kedua filosof memandang kelestarian hutan dan keadilan gender sulit terwujud selama manusia masih mengembangkan pemikiran kapitalisme-patriarhki. Bahwa kapitalisme-patriarkhi secara konseptual maupun empiris telah terbukti secara historis memperlakukan perempuan secara tidak adil dan bersikap eksploitatif terhadap alam.
Drs. Bernadus Wibowo Suliantoro, M.Hum, dosen Universitas Atmajaya Yogyakarta mengatakan, masyarakat desa Beji dalam mengelola Hutan Wonosadi, Gunung Kidul telah mengembangkan visi etika ekofeminis ini. Tidak hanya berhenti pada upaya mewujudkan kesetaraan, namun berusaha melangkah lebih lanjut pada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bersama bagi semua mahkluk.
“Harmoni dalam keselarasan antara manusia dengan sesama maupun dengan alam telah dijadikan fondasi guna mewujudkan keadilan gender dan kelestarian hutan di hutan Wonosadi Gunung Kidul,” katanya di Sekolah Pascasarjana UGM, Jum’at (30/1) saat menjalani ujian terbuka program doktor.
Mempertahankan disertasi “Etika Ekofeminis Vandana Shiva dan Karen J. Warren Sebagai landasan Untuk Merekonstruksi Etika Lingkungan di Indonesia” Studi Kasus Pengelolaan Hutan Wonosadi di Kabupaten Gunung Kidul, promovendus didampingi promotor Prof. Dr. R. Soejadi, SH, Prof. Dr. Lasiyo, MA dan Prof. Dr. A. Sudiarja, SJ. Dikatakannya, pemikiran kedua filsof ekofeminis relevan dipergunakan untuk merekonstruksi visi etika ekofeminis masyarakat Desa Beji dalam melestarikan hutan Wonosadi yang selama ini sudah menjadi praktek hidup, namun belum terumuskan secara eksplisit dalam bentuk pengetahuan yang sistematis dan komprehensif.
Wibowo Suliantoro mengungkapkan Shiva dan Warren mengembangkan konsep etika ekofeminis secara holistik dengan memberi tempat secara seimbang antara fungsi rasio dengan perasaan, kepentingan manusia dengan alam, laki-laki dengan perempuan pada saat melakukan pertimbangan maupun pengambilan keputusan terkait dengan persoalan moral. Keduanya memandang keadilan gender dan kelestarian lingkungan dapat terwujud jika manusia meninggalkan pola pikir, cara pandang dan praktek kapitalisme-patriarkhi.
Karena itu, asumsi-asumsi dasar kapitalisme-patriarkhi perlu didekonstruksikan dan nilai-nilai feminitas perlu lebih dipromosikan sepaya keadilan gender dan kelestarian lingkungan dapat cepat terwujud. “Prinsip-prinsip moral berupa hormat terhadap kehidupan, kepedulian, demokrasi, kasih sayang, keadilan, kehati-hatian pada saat mengembangkan maupun menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, kesetaraan, cinta terhadap sesama dan alam perlu lebih ditumbuhkembangkan supaya kehidupan lebih beradab”, tandasnya. (Humas UGM/ Agung)