Meskipun pengembangan ruminansia kecil, khususnya di Indonesia masih mengalami berbagai kendala, di masa mendatang ruminansia kecil memiliki prospek yang sangat menjanjikan. Selain sebagai tabungan, asuransi dan peran dalam perayaan keagamaan serta peran dalam pengentasan kemiskinan, pertambahan penduduk dunia yang terus meningkat tentu memberi efek meningkatnya kebutuhan protein hewani asal ternak.
Demikian pula dengan peluang ekspor yang masih terbuka lebar, terutama pangsa pasar Timur Tengah sebagai penyedia hewan kurban sebagai pasar potensial bagi pengembangan ruminansia kecil. Lonjakan permintaan terhadap produk-produk ternak di abad ke-21, ini sebagaian besar dipicu oleh tingginya urbanisasi, terutama di negara-negara berkembang sehingga menjadi momentum baik bagi peternak kecil untuk mengoptimalkan usaha ternak ruminansia kecil dalam rangka meningkatkan pendapatan peternak, pemanfaatan tenaga kerja keluarga, hubungan sosial dan pengembangan ruminansia kecil yang berkesinambungan (sustainable).
“Peran ruminansia kecil terutama dalam hal pengentasan kemiskinan juga diprediksi akan terus meningkat, mengingat tidak kurang 1,2 miliar penduduk dunia, 20 persen dari total penduduk dunia, masih dikategorikan sebagai penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari 1 USD per hari, sehingga kontribusi ruminansia kecil dalam pengentasan kemiskinan masih terus diharapkan”, ujar Prof. Ir. I. Gede Suparta Budisatria, M.Sc., Ph.D di ruang Balai Senat, Senin (2/2) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Peternakan UGM.
Menyampaikan pidato pengukuhan “Ruminansia Kecil di Indonesia, Tantangan dan Prospek Pengembangannya”, Gede Suparta mengungkapkan dalam rangka mendukung kecukupan konsumsi daging, maka tujuan beternak ruminansia kecil tidak cukup hanya sebagai usaha sampingan dan dipelihara seadanya. Meski tidak mudah, perlu dilakukan perubahan pola pikir peternak bahwa beternak ruminansia kecil mampu sebagai penghasilan utama rumah tangga.
“Meski keterbatasan sumber daya yang dimiliki peternak, paradigma skala usaha perlu diubah, yang semula beternak sebagai usaha sambilan ditingkatkan menjadi cabang usaha. Bahkan beternak sebagai usaha pokok”, katanya.
Dengan tujuan yang masih bersifat usaha sampingan, Gede Suparta meyakini perkembangan ruminansia kecil tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan. Sebab peternak dengan kondisi skala kepemilikan yang relatif kecil sangat sulit mengadopsi teknologi tepat guna.
Karena itu, penciptaan peternak-peternak baru yang benar-benar “peternak” (bukan hanya usaha tani) harus dilakukan. Adanya keterbatasan modal yang sering dikeluhkan peternak misalnya, dapat diatasi dengan mengadopsi pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang sudah berjalan baik pada unggas.
“Pola seperti ini telah mulai diterapkan terutama oleh peternak domba di Jawa Barat dengan tingkat keberhasilan tinggi”, paparnya. (Humas UGM/ Agung)