Dosen Fakultas Pariwisasta Universitas Udayana, I Nyoman Sukma Arida berhasil memperoleh gelar doktor dari Sekolah Pasacasarjana UGM usai melangsungkan ujian terbuka, Jumat (23/1) di kampus setempat. Pada kesempatan tersebut, Sukma mempertahankan disertasi berjudul “Dinamika Ekowisata Bali”.
Hasil penelitian yang dilakukan Sukma menunjukkan bahwa tipologi ekowisata Bali dilihat dari sisi aktor utama penggerak wisata dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, ekowisata yang digerakkan oleh investor (tipe investor). Kedua, ekowisata yang digerakkan oleh masyarakat (tipe masyarakat). Ketiga, ekowisata yang digerakkan oleh pemerintah (tipe pemerintah). “Ekowisata Bali yang cenderung berpola tiga ini saya namakan sebagai ekowisata tri ning tri,”katanya.
Suka menyampaikan ekowista Bali yang menunjukkan kecenderungan berpola tiga ini tidak terlepas dari kegandrungan manusia Bali dalam mengkonseptualisasikan gagasan dan kearifan lokalnya dengan rumusan berpola tiga. Misalnya pada masyarakat Bali memiliki rumusan Tri Kaya Parisuda, Tri Hita Karana, Tri Rna, dan Tri Mandala.
Dalam praktiknya, kata Sukma mengutip TIES (2000), masing-masing tipe memiliki tingkat kesuaian yang berbeda-beda dengan prinsip-prinsip ekowisata, sehingga bisa dikelompokkan ke dalam ekowisata utama, madya, dan nista. Beberapa sikap hidup masyarakat Bali seperti rwa bhineda, paduwen sareng, dan nempahang rage membuat masing-masing tipe ekowisata bisa berkembang berdampingan secara harmonis di Bali, tanpa meniadakan satu sama lain.
Dari hasil pengamatan pada level mikro di tiga desa Sukma menemukan bahwa karakteristik masing-masing tipe cenderung bergeser kearah tipe hibrid. Pergeseran tersebut terjadi sebagai akibat proses interkasi dengan stakeholder yang beragam. “Ekowisata yang masuk ke suatu desa akan diimprovisasikan sesuai dengan potensi sumber daya yang tersedia dan keunikan stakeholder yang terlibat di dalam pengelolaan ekowisata,”tutur Sukma yang berhasil lulus dengan predikat cum laude ini.
Kemampuan mengolah segala bentuk ekowisata yang datang dari luar tersebut, kata Sukma, berpadu dengan sikap hidup rwa bhineda. Hal tersebut mengakibatkan kepariwisataan yang datang, masuk, kemudian berkembang di Bali ditransformasikan menjadi sebuah bentuk baru. (Humas UGM/Ika)