Dewasa ini, upaya pelayanan kesehatan gigi di Indonesia seakan menghadapi beban ganda, yakni di satu pihak, upaya kesehatan masyarakat masih menghadapi tingginya prevalensi penyakit gigi dan mulut, dan lain pihak, upaya kesehatan perseorangan masih belum memberikan pelayanan yang berkualitas. Tingginya prevalensi penyakit gigi dan mulut di masyarakat ditunjukkan dengan data dari berbagai penelitian yang menyatakan bahwa prevalensi karies gigi adalah sebesar 90%-99% dan prevalensi penyakit periodontal sebesar 66%-96%, dengan kecenderungan yang terus meningkat.
“Tingginya masalah dalam upaya kesehatan gigi perseorangan ditunjukkan oleh fakta bahwa luaran klinis pelayanan kesehatan gigi dan mulut baik di puskesmas maupun di rumah sakit masih rendah,”papar Dibyo Pramono dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM, Jumat (13/2) di Fakultas Kedokteran UGM.
Dalam ujian tersebut Dibyo mempertahankan disertasinya berjudul “Implementasi Clinical Practice Guidelines dan Luaran Klinis Odontektomi Gigi Molar Ketiga Rahang Bawah Impaksi di RSGM Prof. Soedomo Yogyakarta”.
Dibyo menjelaskan bahwa odontektomi gigi molar ketiga impaksi adalah salah satu upaya kuratif spesialistik yang dilakukan di rumah sakit, yang luaran klinisnya masih rendah. Gigi impaksi adalah gigi yang tidak berhasil bererupsi hingga mencapai posisi fungsional yang seharusnya, dalam lengkung gigi, dalam waktu tertentu.
“Odontektomi gigi molar ketiga ini adalah perawatan yang paling sering dilakukan oleh para dokter gigi spesialis bedah mulut dan maksilofasial,”jelas dosen di Fakultas Kedokteran Gigi UGM itu.
Odontektomi gigi molar ketiga adalah tindakan yang high risk mengingat bahwa insidensi terjadinya komplikasi yang tinggi. Selain itu, komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga sangat banyak ragamnya, diantaranya adalah: nyeri, edema, trismus, dry socket, parestesi, infeksi, hematoma, perdarahan dan fraktur tulang baik tulang alveolus maupun tulang mandibular. Melihat tingginya kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga tersebut maka diperlukan upaya untuk menurunkannya. Salah satunya, melalui implementasi clinical practice guidelines (CPG).
CPG diartikan sebagai statemen yang disusun secara sistematis yang digunakan untuk membantu para klinisi dan para pasien dalam pengambilan keputusan perawatan kesehatan yang tepat dalam keadaan klinis yang spesifik.
“CPG ini lebih penting dan strategis karena langsung menyentuh pada proses pelayanan kesehatan kepada pasien,”tegasnya.
Dibyo mengatakan jumlah jumlah pasien odontektomi di RSGM Prof. Soedomo FK UGM relatif stabil, namun tindakan odontektomi di sana cukup tinggi, karena tindakan ini meliputi 12%-25% dari jumlah pasien di Klinik Bedah Mulut selama lima tahun terakhir.
Hasil penelitian yang dilakukan Dibyo antara lain menunjukkan bahwa implementasi CPG tidak menurunkan frekuensi komplikasi hari ketiga pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Implementasi CPG baru menurunkan frekuensi komplikasi hari ketujuh pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. (Humas UGM/Satria)