Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Prof. Dr. Sjafri Sairin, M.A., yang ke 70, Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Antropologi Budaya UGM telah menyelenggarakan Bedah Buku Dari Ancak ke Ancak: Buruh Jawa di Perkebunan Sumatera Utara pada masa Orde Baru. Acara ini diselenggarakan pada Jumat (13/2) di Ruang Media Gedung Margono lantai 2 Fakultas Ilmu Budaya UGM. Bertindak sebagai pembicara, yaitu Dr. Pujo Semedi H.Y, M.A dan Dr. Laksmi A. Savitri.
Acara pembukaa dengan sambutan serta pemotongan tumpeng sebagai ungkapan bentuk syukur atas anugerah pertambahan usia Prof.Dr. Sjafri Sairin, M.A. yang ke 70. Buku Dari Ancak ke Ancak: Buruh Jawa di Perkebunan Sumatera Utara ini merupakan salah satu hasil karya tulisan dari Prof. Dr. Sjafri Sairin, M.A yang menceritakan tentang penelitian oleh tim Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara pada 1983.
“Penelitian menyimpulkan bahwa upah yang diterima buruh perkebunan di Sumatera Utara cukup rendah, dan relatif tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari,” papar Sjafri di awal acara.
Ia menambahkan hasil penelitian ini melahirkan pernyataan mengapa buruh Jawa yang merupakan porsi terbesar buruh perkebunan di daerah itu masih rela dan tetap bertahan untuk bekerja di perkebunan dengan upah yang rendah, sedangkan buruh Cina dan India sudah lama meninggalkan pekerjaan itu. Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh para buruh Jawa, mereka dari satu generasi ke generasi berikutnya tetap memilih untuk bekerja di perkebunan.
Buku itu juga mencoba mengungkap hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 1985. Tidak mungkin dihindari jika kemudian buku ini ketika diterbitkan lebih merupakan sebuah monografi sejarah sosial kehidupan buruh perkebunan di Sumatera Utara, khususnya buruh perkebunan kelapa sawit pada waktu itu, yaitu di masa pemerintahan Orde Baru.
Dari studi ini dapat dijelaskan bahwa latar belakang kebudayaan Jawa memainkan peranan penting dalam memengaruhi buruh Jawa untuk tetap memilih bekerja di perkebunan. Berbagai faktor internal perkebunan ternyata tidak cukup kuat untuk mendorong mereka keluar meninggalkan perkebunan. (Humas UGM/Satria)